Senin, 13 September 2010

poligami

POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF ASGHAR ALI ENGINEER
DAN RELEVANSINYA DENGAN KONTEKS INDONESIA
Oleh: H. Akhmad Haries *
Abstract: polygamy has become a polemic among Islamic
jurists (fuqaha’) since the classical era of Islamic
jurisprudence. The core polemic lies on the issue whether
polygamy is permitted, prohibited or permitted with some
requirements. This article is to analyze Ashgar Ali
Engineer’s opinion on the legal status of polygamy.
According to Ashgar, the al-Nisa chapter : 3 concerning
about polygamous permissibility must be construed in the
light of the al-Nisa chapter : 1 which concerns of doing
justice to orphans. This understanding then suggest,
Asghar further argue, the permissibility of polygamy is
contextual in Islam. Thus, it is possible that its
implementation in Muslim country is strictly limited as
long as the context where Muslims live required so.
Kata Kunci : Poligami, QS. Al-Nisa (4) : 3, ayat kontekstual
Pendahuluan
Salah satu masalah yang sejak dahulu sampai sekarang tetap
menjadi perdebatan hangat di kalangan ahli hukum Islam adalah status
poligami. Mayoritas ilmuan klasik dan pertengahan berpendapat
bahwa poligami adalah boleh secara mutlak. Sementara mayoritas
pemikir kontemporer dan perundang-undangan muslim modern
membolehkan poligami dengan syarat-syarat dan dalam kondisi
tertentu yang sangat terbatas. Lebih dari itu ada pemikir dan UU
perkawinan Muslim yang mengharamkan poligami secara mutlak.
Dengan ungkapan lain, ada tiga (3) pandangan tentang poligami
ini, yakni : Pertama, mereka yang membolehkan poligami secara
mutlak, di antaranya mayoritas ulama klasik dan pertengahan, dengan
syarat; mampu mencukupi nafkah keluarga, dan mampu berbuat adil
terhadap isteri-isterinya, di antaranya dari mazhab Hanafi seperti al-
Sarakhsi, al-Kasani, Imam Malik dan Imam al-Syafi’i. Kedua, mereka
yang membolehkan poligami dengan syarat-syarat dan dalam kondisikondisi
tertentu; Di antara tokoh yang masuk kelompok ini adalah
Quraisy Shihab, Asghar Ali Engineer, Amina Wadud dan lain-lain.
Dan ketiga, mereka yang melarang poligami secara mutlak, di
antaranya al-Haddad dan Druze Lebanon.1 Hal ini sejalan dengan
lahirnya Undang-undang Turki dan masyarakat Druze di Lebanon,
* Penulis adalah Dosen Tetap Jurusan Syari’ah STAIN Samarinda.
1 Khoiruddin Nasution, ”Perdebatan sekitar Status Poligami”, Jurnal
Musawa, No. 1. Vol. 1. Maret 2002, h. 59-78.
H. Akhmad Haries, Poligami dalam Perspektif…….159
Tunisia dengan UU Keluarga, mereka melarang poligami secara
mutlak, dan menghukum orang yang melanggar aturan berpoligami.2
Menariknya, ketiga kelompok ini dalam interpretasi mereka
tentang poligami, sama-sama beranjak dari QS. an-Nisa’ (4): 3 dan
127-129.
Agar pembahasan ini lebih terfokus, maka pembahasan poligami
hanya akan dikaji berdasarkan pendapat kelompok kedua, itupun
dikhususkan kepada pendapat Asghar Ali Engineer. Hal ini dilakukan
karena selain Asghar Ali Engineer dikenal sebagai orang yang gigih
dalam penegakan kesetaraan gender dan perjuangan untuk
menetapkan relasi gender yang berkeadilan dalam Islam dan
pandangannya yang cukup revolusioner dalam bidang teologi yaitu
perlunya dikembangkan “teologi pembebasan Islam,” ia juga memiliki
pandangan yang cukup liberal dalam menginterpretasikan suatu teks
yang dianggap bias gender .3
Dalam kajian ini akan dibahas tentang pemahaman Asghar Ali
Engineer terhadap QS. an-Nisa’ (4): 3. Pemahaman ini akan
direlevansikan dengan konteks Indonesia, khususnya perundangundangan
perkawinan yang ada, agar dapat diteliti ulang, apakah
perundang-undangan tersebut masih tetap relevan atau justru perlu
perubahan karena adanya bias gender.
Pengertian dan Dasar Hukum Poligami
Salah satu bentuk perkawinan yang sering diperbincangkan
dalam masyarakat Muslim adalah poligami. Sebelum membahas lebih
lanjut mengenai poligami dalam pandangan Asghar Ali Engineer dan
relevansinya dengan konteks Indonesia, berikut ini akan dijelaskan
terlebih dahulu sepintas tentang makna dan dasar hukum tentang
poligami.
Sebagaimana dikemukakan banyak penulis, poligami berasal
dari bahasa Yunani. Kata ini merupakan penggalan kata poli atau
polus yang artinya banyak, dan kata gamein atau gamos, yang berarti
kawin atau perkawinan. Maka ketika kedua kata ini digabungkan akan
berarti suatu perkawinan yang banyak. Kalau dipahami dari kata ini,
2 Alasannya selain berdasarkan QS. al-Nisa yakni mustahil seorang suami
dapat berlaku adil terhadap isteri-isterinya. Dalam UU Keluarga Tunisia bahawa
seorang yang berpoligami sebelum perkawinannya bubar/cerai akan dihukum
dengan hukuman penjara selama satu tahun penjara atau denda 240.000 malims atau
keduanya. Lihat Dawoud El Alami dan Doreen Hinchliffe, Islamic Marriage and
Divorce Laws of The Arab Word (London, The Hague, Boston: Kluwer Law
International, 1996), h. 242.
3 Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajidi
dan Cici Farkha Assegaf (Yogyakarta: LSPPA & CUSO, 1994), h. 30.
160 , Vol. IV, No. 2, Desember 2007
menjadi sah untuk mengatakan, bahwa arti poligami adalah
perkawinan banyak, dan bisa jadi dalam jumlah yang tidak terbatas.4
Namun, dalam Islam, poligami mempunyai arti perkawinan yang
lebih dari satu, dengan batasan, umumnya dibolehkan hanya sampai
empat wanita. Walaupun ada juga yang memahami ayat tentang
poligami dengan batasan empat atau bahkan lebih dari sembilan
isteri.5
Singkatnya, poligami adalah ikatan perkawinan yang salah satu
pihak (suami) mengawini beberapa (lebih dari satu) isteri dalam waktu
yang bersamaan. Laki-laki yang melakukan bentuk perkawinan seperti
itu dikatakan bersifat poligami.6
Sedangkan dasar hukum mengenai poligami dalam pernikahan
disebutkan secara jelas dan tegas dalam al-Qur’an. Ayat yang sering
menjadi rujukan para ulama dalam hal poligami antara lain ialah:
adalah QS. Al-Nisa (4) :1-3 yang artinya:
"Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang
telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya
Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah
memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang
banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-
Nya kamu saling meminta satu sama lain , dan hubungan
silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasi kamu. Dan berikanlah kepada anak-anak yatim
harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang
buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama
hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan itu, adalah dosa
yang besar. Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku
adil terhadap perempuan yang yatim , maka kawinilah
wanita-wanita yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil,
maka seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya. {QS. Al-Nisa(4): 1-3}.
Ayat ini diturunkan di Madinah setelah perang Uhud.
Sebagaimana dimaklumi, karena kecerobohan dan ketidakdisiplinan
4 Labib MZ., Pembelaan Ummat muhammad (Surabaya: Bintang Pelajar,
1986), h. 15.
5 Perbedaan ini disebabkan perbedaan dalam memahami dan menafsirkan
ayat Al-Nisa(4): 3, sebagai dasar penetapan hukum poligami. Lihat Khoiruddin
Nasution, Riba & Poligami: Sebuah Studiatas Pemikiran Muhammad Abduh
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 84.
6 Musdah Mulia, Pandangan Islam tentang Poligami (Jakarta: LKAJ-SP,
1999), h. 2.
H. Akhmad Haries, Poligami dalam Perspektif…….161
kaum Muslim dalam perang itu mengakibatkan mereka kalah telak.
Banyak prajurit Muslim yang gugur di medan perang. Dampak
selanjutnya, jumlah janda dan anak-anak yatim dalam komunitas
Muslim meningkat drastis. Tanggung jawab pemeliharaan anak-anak
yatim itu tentu saja kemudian dilimpahkan kepada para walinya.
Tidak semua anak yatim berada dalam kondisi papa dan miskin, di
antara mereka ada yang mewarisi harta yang banyak, peninggalan
mendiang orang tua mereka.7
Pada situasi dan kondisi yang disebutkan terakhir, muncul niat
jahat di hati sebagian wali yang memelihara anak yatim. Dengan
berbagai cara mereka berbuat culas dan curang terhadap anak yatim
tersebut. Terhadap anak yatim yang kebetulan memiliki wajah yang
cantik, para wali itu mengawini mereka, dan jika tidak cantik, mereka
menghalanginya agar tidak menikah meskipun ada laki-laki lain yang
melamarnya. Tujuan para wali menikahi anak yatim yang berada
dalam kekuasaan mereka semata-mata agar harta anak yatim itu tidak
beralih pada orang lain, melainkan jatuh ke dalam genggaman mereka
sendiri, sehingga akibatnya tujuan luhur perkawinan tidak terwujud.
Tidak sedikit anak yatim yang telah dinikahi oleh para wali mereka
sendiri mengalami kesengsaraan akibat perlakuan tidak adil. Anakanak
yatim itu dikawini, tetapi hak-hak mereka sebagai isteri, seperti
mahar dan nafkah tidak diberikan. Bahkan, harta mereka dirampas
oleh suami mereka sendiri untuk menafkahi isteri-isteri mereka yang
lain yang jumlahnya lebih dari batas kewajaran.8
Para mufassir sepakat bahwa sabab an-nuzul ayat ini berkenaan
dengan perbuatan para wali yang tidak adil terhadap anak yatim yang
berada dalam perlindungan mereka.9
Biografi dan Aktivitas Keilmuan Ashgar Ali Engineer
Ashgar Ali Engineer dilahirkan di Rajastan, dekat Udaipur, pada
tanggal 10 Maret 1940 dalam keluarga yang berafiliasi ke Syi’ah
Isma’iliyah. Adapun ayahnya bernama Sheikh Qurban Husain, dan
ibunya bernama Maryam. Dalam hal ini, ayahnya merupakan seorang
pemuka agama yang mengabdi kepada pemimpin keagamaan Bohra.
Melalui ayahnya, Asghar Ali Engineer mempelajari ilmu-ilmu
keislaman seperti teologi, tafsir, hadis dan fiqh. Bahkan ia juga pernah
menempuh pendidikan formal dari tingkat dasar dan lanjutan pada
sekolah yang berbeda-beda, seperti Hoshangabad, Wardha, Dewas dan
Indore. Adapun pendidikan tingginya dimulai pada tahun 1956. Enam
tahun kemudian, yaitu tahun 1962, ia berhasil menyelesaikannya dan
7 Ibid., h.32.
8 Ibid., h. 33.
9 Ibid.
162 , Vol. IV, No. 2, Desember 2007
akhirnya memperoleh gelar Doktor dalam bidang teknik sipil dari
Vikram University, Ujjain (India).10
Di samping itu, Asghar Ali Engineer juga menguasai berbagai
bahasa, seperti Inggris, Arab, Urdu, Persia, Gujarat, Hindi dan
Marathi. Dengan menguasai berbagai bahasa tersebut Asghar Ali
Engineer mempelajari dan menekuni masalah-masalah agama. Ia
mempelajari fiqh perbandingan yang meliputi empat mazhab sunni
dan juga mazhab Syi’ah Isma’iliyah. Dia sangat membela pada hakhak
wanita dalam Islam dan mempelajari berbagai mazhab hukum
serta berusaha mengambil putusan yang paling baik tentang wanita
dari mazhab-mazhab tersebut dengan jalan talfiq. Bahkan dengan
serius ia membaca tentang rasionalisme, baik yang berbahasa Urdu,
Arab ataupun Inggris. Asghar Ali Engineer juga membaca tulisantulisan
Niyaz Fatehpuri (seorang penulis berbahas Urdu yang terkenal
dan pengkritik ortodoksi), Bertrand Russel (seorang filosof rasional
asal Inggris), dan juga karya monumental Karl Marx, Das Capital.
Asghar mengakui bahwa pemikirannya banyak dipengaruhi oleh para
pemikir ini. Sedangkan untuk tafsir al-Qur’an, dia membaca karya
tokoh-tokoh Islam seperti Sir Sayyid Ahmad Khan (meninggal 1898)
dan Maulana Abu al-Kalam (meninggal 1958). Engineer juga telah
membaca hampir semua karya besar tentang Dakwah Fatimi yang
ditulis oleh, antara lain, Sayedna Hatim, Sayedna Qadi Nu‘man,
Sayedna Muayyad Sirazi, Sayedna Haminuddin Kirmani, Sayedna
Hatim ar-Razi dan Sayedna Ja’far Mansur al-Yaman. Tak ketinggalan
juga, Rasa’il Ikhwanus Safa, sebuah sintesis antara akal dan wahyu,
turut serta membentuk wacana intelektual Asghar.11
Di samping sebagai pemikir, Asghar Ali Engineer juga adalah
seorang aktifis sekaligus seorang Da‘i yang memimpin sekte Syi‘ah
Isma‘iliyah, Daudi Bohras yang berpusat di Bombay India. Untuk
diakui sebagai Da‘i tidaklah mudah. Ia harus memenuhi 94 kualifikasi
yang secara ringkasnya dibagi dalam empat kelompok. Pertama,
kualifikasi-kualifikasi pendidikan. Kedua, kualifikasi-kualifikasi
administratif. Ketiga, kualifikasi-kualifikasi moral. Keempat,
kualifikasi-kualifikasi keluarga dan kepribadian.12 Bahkan yang lebih
menarik lagi, di antara kualifikasi tersebut, seorang Da‘i harus tampil
sebagai pembela umat yang tertindas dan berjuang melawan
kezaliman. Baginya, harus ada keseimbangan antara refleksi dan aksi.
10 M. Agus Nuryatno, Islam, Teologi Pembebasan dan Kesetaraan Gender,
Cet.I (Yogyakarta: UII Press, 2001), h. 7-8.
11 Ibid, h. 10-11.
12 Djohan Effendi, “Memikirkan Kembali Asumsi Pemikiran Kita”, dalam
kata pengatar bukunya Asghar Ali Engineer, Islam dan Pembebasan, alih bahasa
Hairus Salim dan Imam Baehaqy, Cet. I (Yogyakarta: Lkis, 1993), h. Vii.
H. Akhmad Haries, Poligami dalam Perspektif…….163
Dengan memahami posisi Asghar Ali Engineer di atas, maka
tidaklah mengherankan mangapa ia sangat vokal sekali dalam
memperjuangkan dan menyuarakan pembebasan. Suatu tema yang
menjadi ruh pada setiap karyanya, seperti hak asasi manusia, hak-hak
wanita, pembelaan rakyat tertindas, perdamaian etnis, agama, dan
lain-lainnya. Itulah sebabnya, ia banyak terlibat bahkan memimpin
organisasi yang memberikan banyak perhatian kepada upaya advokasi
sosial. Meskipun harus bertentangan dengan generasi tua yang
cenderung bersikap konservatif, dan pro status qou. Hal ini terjadi
ketika sekte Daudi Bohra dipimpin oleh Sayyidina Muhammad
Burhanuddin yang dikenal sebagai Da‘i mutlak (absolute preacher).13
Sebagai seorang Da‘i mutlak, Burhanuddin mempunyai otoritas
absolut dan bahkan ia beranggapan bahhwa kekuatan yang
tersembunyi dari seorang Imam berasal dari Nabi dan Allah sehingga
semua pengikut Bohra diharuskan tunduk kepadanya, kecuali jika
ingin menghadapi penyiksaan.
Melihat realita di atas, maka pada tahun 1972 ketika terjadi
gerakan revolusi di Udaipur, Asghar Ali Engineer mulai terjun ke
arena gerakan pembaharuan Bohra untuk menetang eksploitasi atas
nama agama. Dia memimpin gerakan kaum reformis menentang apa
yang mereka sebut sebagai otoritarianisme dan rigiditas pemimpin
Bohra. Asghar Ali Engineer menyerukan perlunya tafsir liberal
terhadap Islam yang dapat mengakomodasi hak-hak individu,
martabat manusia dan nilai-nilai kemanusiaan. Penentangan terhadap
pemimpin Bohra tersebut bukan hanya mendapat reaksi keras, tetapi
juga berakibat terjadinya beberapa kali usaha pembuhuhan. Di
antaranya terjadi pada tanggal 8 Nopember 1977 di Calcutta dan di
Heiderabad pada tanggal 26 Desember 1977. .
Di samping aktifis, Asghar Ali Engineer juga mendirikan sebuah
institut pada tahun 1980 yang terutama sekali memfokuskan pada dua
bidang, yaitu : (1), kerukunan antar umat agama, (2), studi-studi
wanita dari persfektif Islam. Karena kegigihan dan kesungguhan
usahanya tersebut, Asghar Ali Engineer di anugerahi gelar
kehormatan D. Lit. (Doctor of Literature) oleh Universitas Calcuta
pada tahun 1993 atas jasa dan publikasinya di Communal Harmony
and Interreligious Understanding yaitu di bidang kerukunan dan
pemahaman antar agama. Bahkan, Asghar Ali Engineer juga
memperoleh National Communal Harmony Award atas kerja kerasnya
di Communal Harmony oleh National Foundation for Communal
Harmony, pada tahun 1997 berkat perhatian yang besar dan
partisipasinya dalam upaya pemecahan konflik yang diakibatkan oleh
adanya pluralisme agama dan kelompok yang berbeda di India dalam
mewujudkan kehidupan yang harmonis dan berbagai penghargaan
13 M. Agus Nuryatno, Islam., h. 8
164 , Vol. IV, No. 2, Desember 2007
lainnya seperti Hakim Khan Sur Award oleh Maharana Mewar
Foundation, Udaipur, Rajasthan.
Adapun jabatan yang pernah ia pegang adalah Wakil Presiden
pada People’s Union for Civil Liberties, Pemimpin Rikas Adhyayan
Kendra (Centre for Development Studies), Pimpinan EKTA
(Committee for Communal Harmonyi), Ketua Pendiri pada Centre for
Study of Society and Secularism, Mantan Dewan Eksekutif
Universitas Jawaharlal Nehru, Delhi, Sekretaris Umum pada Board of
Dawoodi Bohra Community dan Convenor Asian Muslims’ Action
Network (AMAN). Di samping aktif dalam organisasi, Asghar juga
aktif dalam akademik pendidikan. Ia pernah memberikan kuliah di
universitas diberbagai negara seperti, Amerika, Kanada, Inggris,
Swiss, Thailand, Malaysia, Indonesia, Sri Langka, Pakistan, Yaman,
Mesir, Hongkong dan lain-lainnya.14
Sebagai seorang pemikir-reformis, lebih-lebih kapasitasnya
sebagai Directur of Islamic Studies di Bombay, dan mantan anggota
Dewan Eksekutif Universitas Jawaharlal Nehru, di India, Asghar
sangat rajin dalam menuangkan ide-ide pemikirannya di berbagai
forum ilmiah baik dalam seminar, perkuliahan, lokakarya, maupun
simposium di berbagai negara. Bahkan dalam mensosialisasikan
pemikirannya, Asghar Ali Engineer aktif menulis maupun sebagai
penyunting di berbagai penerbitan. Sehingga tidak lebih dari 38 buku
yang telah ia terbitkan.
Pandangan Asghar Ali Engineer tentang Poligami
Seperti dicatat sebelumnya di bagian pendahuluan, mayoritas
pemikir kontemporer dan perundang-undangan modern membolehkan
poligami dengan syarat dan dalam kondisi tertentu. Di antara tokoh
yang masuk kelompok ini adalah Asghar Ali Engineer.
Ali Engineer berpendapat bahwa untuk memahami konteks ayat
QS. Al-Nisa (4);3, yang biasa dijadikan dasar poligami, perlu lebih
dahulu dihubungkan dengan ayat yang mendahului konteksnya.15 Ayat
al-Nisa (4):1 berbicara tentang penciptaan laki-laki dan perempuan
dari sumber yang sama. Karena itu, ayat ini memberikan gambaran
kesetaraan kedua jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Al-Nisa (4):2
mendesak Muslim agar memberi harta anak yatim yang menjadi
warisannya tidak mengganggu untuk kepentingan wali. Sementara al-
Nisa (40):3 berkaitan dengan poligami, yang dimulai dengan “dan jika
kamu khawatir tidak dapat berbuat adil terhadap anak-anak
(perempuan) yang yatim…”. Penekanan ketiga ayat ini bukan
mengawini lebih dari seorang perempuan, tetapi berbuat adil kepada
14 Adapun mengenai biodata aktifitas organisasi dan kegiatan akademik
pendidikan Asghar Ali Engineer secara lengkap dapat ditemukan dalam halaman
akhir dari buku Hak-hak Perempuan dalam Islam yang dimuat oleh editor LSPPA.
15Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan…, h. 30
H. Akhmad Haries, Poligami dalam Perspektif…….165
anak yatim. Maka konteks ayat ini adalah menggambarkan orangorang
yang bertugas memelihara kekayaan anak yatim sering berbuat
yang tidak semestinya, yang kadang mengawininya tanpa mas kawin.
Maka al-Qur’an memperbaiki perilaku yang salah tersebut.16 Sebagai
tambahan, Aisyah dalam Sahih Muslim memahami ayat ini, bahwa
jika para pemelihara anak (perempuan) yatim khawatir dengan
mengawini perempuan lain. Karena itu, ayat ini bukan merujuk pada
satu hal yang umum, tetapi terhadap satu konteks, bahwa keadilan
terhadap anak-anak yatim lebih sentral daripada masalah poligami.17
Konteks lain tambah Asghar Ali Engineer, ayat ini turun setelah
selesai perang Uhud, ketika dalam perang ini 70 dari 700 laki-laki
wafat. Akibatnya banyak perempuan muslimah yang menjadi janda
dan anak yatim, yang harus dipelihara. Maka menurut konteks sosial
ketika itu jalan terbaik untuk memelihara, dengan syarat harus adil.
Konteks pemeliharaan dan penjagaan janda ini didukung dengan hadis
Nabi, yang pernah bersabda, “seorang yang bekerja keras untuk
menafkahi para janda adalah seperti orang yang membiayai perang
jihad atau orang-orang yang secara terus menerus menunaikan shalat
pada waktu malam dan melakukan puasa pada waktu siang”.18
Karena itu, pemahaman terhadap al-Nisa (4):3, bahwa menikahi
janda dan anak-anak Yatim dalam konteks ini sebagai wujud
pertolongan, bukan untuk kepuasan seks.
Sejalan dengan itu, pemberlakuannya harus dilihat dari konteks
itu bukan untuk selamanya. Ini artinya, bahwa ayat ini adalah ayat
yang kontekstual yang temporal pemberlakuannya, bukan ayat yang
prinsip yang universal yang harus berlaku selamanya.
Poligami Dalam Perundang-undangan Di Indonesia
Masalah poligami di Indonesia, diatur dalam UU No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan dan Inpres No. 1/1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam..
Dalam UU No. 1 Tahun 1974, masalah poligami diatur pada
pasal 3, 4, dan 5.
Pasal 3 berbunyi :
(1) Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya
boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh
mempunyai seorang suami.
(2) Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk
beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihakpihak
yang bersangkutan.
Pasal 4 berbunyi :
16 Ibid., h. 142.
17 Ibid., h. 143.
18 Ibid., h. 146.
166 , Vol. IV, No. 2, Desember 2007
(1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang,
sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) undang-undang
ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan
di daerah tempat tinggalnya.
(2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya
memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri
lebih dari seorang apabila :
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan
Pasal 5 berbunyi :
(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan,
sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) undang-undang
ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. adanya persetujuan dari isteri/ister-isteri
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin
keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak
mereka
c. adanya jaminan bahwa suami mampu menjamin
keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak
mereka.
(2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini
tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteriisterinya
tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak
dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada
kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun,
atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat
penilaian dari Hakim Pengadilan.19
Dalam Inpres No. 1/1991, masalah poligami diatur pada pasal
55, 56, 57, 58, dan 59.
Pasal 55 berbunyi :
(1) Beristeri lebih dari satu orang pada waktu yang bersamaan,
terbatas hanya sampai empat orang isteri.
(2) Syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu
berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
(3) Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak
mungkin dipenuhi, suami dilarang beristeri lebih dari seorang.
19 Departemen Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum, UU No. 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama, UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan
Inpres No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (Jakarta : Direktorat Jenderal
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2000), h. 117-118
H. Akhmad Haries, Poligami dalam Perspektif…….167
Pasal 56 berbunyi :
(1) Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus
mendapat izin dari Pengadilan Agama.
(2) Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1)
dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam Bab
VIII Peraturan Pemerintah No. Tahun 1975.
(3) Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau
keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai
kekuatan hukum.
Pasal 57 berbunyi :
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami
yang yang akan beristeri lebih dari seorang apabila :
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 58 berbunyi :
(1) Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka
untuk memperoleh izin Pengadilan Agama, harus pula
dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undangundang
No. 1 Tahun 1974 yaitu :
a. adanya persetujuan isteri
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin
keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.
(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, persetujuan isteri
atau isteri-isteri dapat diberikan secara tertulis atau dengan
lisan, tetapi sekali pun telah ada persetujuan tertulis,
persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan isteri pada
siding Pengadilan Agama.
(3) Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan
bagi seorang suami apabila isteri atau isteri-isterinya tidak
mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi
pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari isteri
atau isteri-isterinya sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau
karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim.
Pasal 59 berbunyi :
Dalam hal isteri tidak mau memberikan persetujuan, dan
permohonan izin untuk beristeri lebih dari satu orang berdasarkan
atas salah satu alas an yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57,
168 , Vol. IV, No. 2, Desember 2007
Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin
setelah memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan.20
Pandangan Asghar Ali Engineer tentang Poligami dan
Relevansinya dengan Konteks Indonesia
Kalau pemahaman Asghar Ali Engineer ini direlevansikan
dengan konteks Indonesia, secara historis masalah poligami
sebelumnya telah marak dibicarakan, jauh sebelum UU No. 1 tahun
1974 tentang perkawinan menjadi undang-undang. Pada akhirnya
monogami ditetapkan menjadi salah satu azas tetapi dengan suatu
pengecualian yang ditujukan kepada orang yang menurut hukum dan
agamanya diizinkan bagi seorang suami beristeri lebih dari seorang.
Masuk dalam pengecualian tersebut adalah orang yang beragama
Islam, karena secara normatif tekstual al-Qur’an dianggap
membolehkan poligami.
Syarat alternatif yang mengandaikan kebolehan melakukan
poligami pada mulanya ditujukan untuk melindungi perempuan dari
tindakan poligami yang sewenang-wenang. Namun demikian, karena
perspektif yang digunakan sarat dengan bias gender, dan tanpa
memperhatikan suara perempuan yang dipoligami itu sendiri, maka
hasil ketentuan-ketentuan tersebut justru merugikan perempuan.
Syarat-syarat yang ditentukan hanya dibebankan kepada perempuan
sebagai isteri, baik yang berkaitan dengan ketidakmampuan
menjalankan kewajiban, cacat badan maupun sakit seolah hanya
dapat terjadi pada perempuan.21 Bagaimana jika laki-laki atau suami
yang tidak dapat menjalankan kewajiban, cacat badan atau sakit? Hal
ini tidak terjamah dalam undang-undang. Bagaimana pula jika isteri
dalam kondisi yang lemah baik secara ekonomi maupun ekonomi nonekonomi
sehingga tidak memiliki kekuatan untuk menyatakan
ketidaksetujuan untuk dipoligami? Meskipun persetujuan dari isteri
menjadi salah satu ketentuan, undang-undang tidak memberikan
kepastian dan jaminan terhadap hak dan kebebasan perempuan dalam
memberikan persetujuan atau penolakan.
Dengan demikian, beberapa alasan yang ditentukan UU pada
prinsipnya bertentangan dengan konsep merawat cinta kasih antara
suami isteri dalam keluarga. keluarga yang sakinah, mawaddah dan
penuh rahmah mengandaikan kesediaan kedua belah pihakuntuk
saling menghargai, menghormati dan menerima kelebihan sekaligus
kelemahan masing-masing. Jika kekurangan fisik baik pada laki-laki
maupun perempuan dianggap sebagai kelemahan maka seharusnya
tidak menjadi alasan untuk mengahdirkan perempuan atau pihak lain
20 Ibid., h.176-177.
21 UU No. 1 Tahun 1974 pasal 4 ayat 2. Lihat Departemen Agama RI,
Bahan Penyuluhan Hukum (Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Islam, 2000),
h. 118.
H. Akhmad Haries, Poligami dalam Perspektif…….169
untuk menutupi kekurangan tersebut. Terlebih jika isteri menderita
karena suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan, maka tidak
manusiawi jika suami justru menduakan dengan mengawini
perempuan lain demi kepentingan suami sendiri. Sama halnya dengan
kekurangan isteri karena tidak dapat melahirkan keturunan. Kondisi
semacam ini tidak hanya menjadi persoalan suami tetapi juga menjadi
kekecewaan isteri, dan tidak adil jika kekecewaan tersebut
diselesaikan dengan menambah beban isteri karena dipoligami.
Alasan lain yang tidak diatur dalam UU sering dijadikan dasar
melakukan poligam adalah asumsi bahwa angka statistik
menunjukkan jumlah perempuan lebih banyak dari laki-laki. Beberapa
penelitian ilmiah menunjukkan bahwa perempuan yang lanjut usia
lebih banyak dari laki-laki usia lanjut. Salah satu penyebabnya adalah
usia harapan hidup perempuan Indonesia lebih panjang daripada lakilaki.
Fenomena ini disebabkan antara lain karena daya tahan tubuh
perempaun pada umumnya lebih baik. Kondisi demikian
menyebabkan banyak perempuan yang bertahan hidup di atas usia 60
tahun dibanding laki-laki.22 Dengan demikian kelebihan jumlah
perempuan terjadi di usia lanjut dan jika alasan poligami adalah
menolong perenmpuan maka seharusnya poligami dilakukan dengan
para “manula” tersebut.
Dalam realitas kehidupan yang dialami perempuan, seperti yang
tampak dalam data-data mengenai kasus kekerasan terhadap isteri
dalam bentuk poligami yang masuk di Rifka Annisa Women Crisis
Center tahun 2000, perempuan bahkan tidak terjamah dalam UU. Data
di Rifka Annisa menunjukkan bahwa 62% dari kasus poligami yang
masuk pada tahun 2002 adalah poligami sirri dan hanya 38% kasus
poligami yang dilakukan secara resmi. Sementara itu, data yang ada
menunjukkan bahwa 75% dari 90 kasus kekerasan terhadap isteri yang
ada, solusi yang dipilih adalah cerai.23 Perceraian yang diakibatkan
oleh poligami seperti ini tidak diakomodir dan tidak mendapatkan
jaminan undang-undang.
Sebagai gambaran tercatat bahwa sampai bulan Oktober tahun
1999 terdapat 40 kasus kekerasan (yang terungkap) dalam rumah
tangga dan hanya 38 kaus yang masuk ke Pengadilan.24
Dari kasus kekerasan terhadap perempuan yang masuk di Rifka
Annisa Women Crisis Center mengenai kekerasan terhadap
perempuan di Yogyakarta pada tahun 2000, 225 diantaranya dialami
22 Syafiq Hasyim, Poligami dan Keadilan kualitatif (Jakarta: P3M, 1999),
h. 33.
23 Grafik Solusi yang dipilih klien kasus KTI Bulan Januari-Desember 2000
di Rifka Annisa WCC Yogyakarta, Sumber Divisi Litbang RAWCC Yogyakarta.
24 Eka, Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (Jakarta: P3M,
1999), h. 8.
170 , Vol. IV, No. 2, Desember 2007
oleh isteri.25 92 kasus adalah kekerasan dalam pacaran, 28 kasus
pelecahan seksual, 25 kasus perkosaan, dan 12 kasus kekerasan dalam
rumah tangga. Total kasus yang masuk dari tahun 1994 sampai 2000
sebanyak 1309 kasus dengan rincian sebagai berikut: kekerasan
terhadap isteri sejumlah 820 kasus, kekerasan dalam pacaran sejumlah
294 kasus, perkosaan 85 kasus, pelecehan seksual 68 kasus dan
kekerasan dalam keluarga dan kehamilan yang tidak dikehendaki
sejumlah 42 kasus.
Penutup
Dari berbagai paparan di atas dapat disimpulkan, bahwa:
Menurut Asghar Ali Engineer bahwa untuk memahami konteks ayat
QS. Al-Nisa (4);3, yang biasa dijadikan dasar poligami, perlu lebih
dahulu dihubungkan dengan ayat yang mendahului konteksnya. Ayat
al-Nisa (4):1-3 pada ayat yang ketiga ini berkaitan dengan poligami,
yang dimulai dengan “dan jika kamu khawatir tidak dapat berbuat adil
terhadap anak-anak (perempuan) yang yatim…”. Penekanan ketiga
ayat ini bukan mengawini lebih dari seorang perempuan, tetapi
berbuat adil kepada anak yatim. Maka konteks ayat ini adalah
menggambarkan orang-orang yang bertugas memelihara kekayaan
anak yatim sering berbuat yang tidak semestinya, yang kadang
mengawininya tanpa mas kawin. Maka al-Qur’an memperbaiki
perilaku yang salah tersebut. bahwa menikahi janda dan anak-anak
Yatim dalam konteks ini sebagai wujud pertolongan, bukan untuk
kepuasan seks. Sejalan dengan itu, pemberlakuannya harus dilihat dari
konteks itu bukan untuk selamanya. Ini artinya, bahwa ayat ini adalah
ayat yang kontekstual yang temporal pemberlakuannya, bukan ayat
yang prinsip yang universal yang harus berlaku selamanya.
Ketentuan hukum di Indonesia yang disusun tanpa
memperhatikan kepentingan dan hak asasi perempuan sebagai
individu yang otonom, yang menjadi subjek dari hukum yang
berkaitan dengan diri dan kehidupannya, menjadi embrio lahirnya
berbagai ketidakadilan terhadap perempuan baik secara psikis maupun
ekonomis. Perempuan-perempuan yang mengalami poligami baik
poligami resmi apalagi sirri, sangat rentan mengalami ketidakadilan.
Lemahnya posisi mereka yang dipoligami selanjutnya berdampak
pada pola ketergantungan, subordinasi dan marginalisasi perempuan
terhadap laki-laki, baik dalam bidang ekonomi, pengambilan
keputusan (dalam) keluarga maupun yang lainnya.
25 Dokumen Litbang Rifka Annisa Women Crisis Center, Data Kasus
Kekerasan Terhadap Perempuan Yang masuk di Rifka Annisa WCC, Periode Tahun
1994-2000.
H. Akhmad Haries, Poligami dalam Perspektif…….171
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim.
Ali Engineer, Asghar, Hak-hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid
Wajidi dan Assegaf, Cici Farkha, Yogyakarta: LSPPA &
CUSO, 1994.
Departemen Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum, Jakarta: Dirjen
Pembinaan Kelembagaan Islam, 2000.
Dokumen Litbang Rifka Annisa Women Crisis Center, Data Kasus
Kekerasan Terhadap Perempuan Yang masuk di Rifka
Annisa WCC, Periode Tahun 1994-2000.
Effendi, Djohan, “Memikirkan Kembali Asumsi Pemikiran Kita”,
dalam kata pengatar bukunya Asghar Ali Engineer, Islam
dan Pembebasan, alih bahasa Hairus Salim dan Imam
Baehaqy, Cet. I, Yogyakarta: Lkis, 1993.
El Alami, Dawoud dan Hinchliffe, Doreen, Islamic Marriage and
Divorce Laws of The Arab Word, London, The Hague,
Boston: Kluwer Law International, 1996.
Eka, Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan, Jakarta: P3M,
1999.
Grafik Solusi yang dipilih klien kasus KTI Bulan Januari-Desember
2000 di Rifka Annisa WCC Yogyakarta, Sumber Divisi
Litbang RAWCC Yogyakarta.
Hasyim, Syafiq, Poligami dan Keadilan kualitatif, Jakarta: P3M,
1999.
Labib MZ., Pembelaan Ummat muhammad, Surabaya: Bintang
Pelajar, 1986.
Mulia, Musdah, Pandangan Islam tentang Poligami, Jakarta: LKAJSP,
1999.
Nasution, Khoiruddin, ”Perdebatan sekitar Status Poligami”, Jurnal
Musawa, No. 1. Vol. 1. Maret 2002.
----------, Riba & Poligami: Sebuah Studiatas Pemikiran Muhammad
Abduh, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Nuryatno, M. Agus, Islam, Teologi Pembebasan dan Kesetaraan
Gender, Cet.I (Yogyakarta: UII Press, 2001), hlm. 7-8.
This document was created with Win2PDF available at http://www.daneprairie.com.
The unregistered version of Win2PDF is for evaluation or non-commercial use only.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar