Senin, 13 September 2010

kepemimpinan

Kaum Muslimin Rahimakumullah
Bahwa pemimpin itu harus mempunyai Sifat-sifat yang telah disebutkan dalam alquran diantaranya
1. Kesabaran dan ketabahan,
2.Yahduna biamrina ( ), mengantar (masyarakatnya) ke tujuan yang sesuai dengaan petunjuk Allah’
3.Wa auhaina ilaihim fi’lal al-khairat……………………………. ( ) telah membudaya pada diri mereka kebajikan
4 Abidin ( ) :beribadah, termasuk melaksanakan shalat dan menunaikan zakat;
5.Yuqinun ( ) penuh keyakinan
Hal tsb sebagaimana difirmankan Allah dalam alquran Surah As-sajdah ayat 24 dan surah al-anbiya ayat 73







Artinya : dan kami jadikan diantara mereka itu pemimpin-pemimpin yang member petunjuk dengan perintah kami ketika mereka sabar dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami;
Artinya : kami telah menjadikan meeka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang member petunjuk dengan perintah kami dan telah kami wahyukan kepada mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan shalat,menunaikan zakat dan hanya kepada kamilah mereka selalu menyembah;

Dari kelima sifat tersebut dijadikan Allah sebagai konsideran pengangkatan seorang pemimpin, dan pembahasan tersebut telah kami sampaikan pada khutbah saya sebelumnya, dan pada hari ini saya akan melengkapi khutbah tersebut tetap dengan topic masalah kepemimpinan;

KAUM MUSLIMIN RAHIMAKUMULLAH
Ibnu Taimiyyah bahkan menyatakan bahwa menegakkan kekuasaan adalah salah satu kewajiban agama yang penting. Hal itu karena agama juga bisa tegak dengan adanya kekuasaan. Di samping itu, kepentingan umum masyarakat tidak akan terwujud sempurna tanpa adanya sebuah organisasi yang mengaturnya. Dan sebuah organisasi itu tentu memerlukan seorang pemimpin.[5]
Substansi kepemimpinan politik dalam perspektif Islam merupakan sebuah amanat yang harus diberikan kepada orang yang benar-benar “ahli”, berkualitas dan memiliki tanggung jawab, adil, jujur dan bermoral baik. Islam tawarkan dalam memilih seorang pemimpin agar dapat membawa umat kepada kehidupan yang lebih baik, harmonis, dinamis, makmur, sejahtera dan tenteram.[6] Hal inilah yang membuat Islam tidak menerima pandangan Vilfredo Pareto, ahli politik Italia, yang menyatakan bahwa kepemimpinan dan kekuasaan politik hanya sekedar persoalan siapakah yang berkuasa.[7]
Di samping itu, pemimpin juga harus orang yang bertakwa kepada Allah. Karena ketakwaan ini sebagai acuan dalam melihat sosok pemimpin yang benar-benar akan menjalankan amanah. Bagaimana mungkin pemimpin yang tidak bertakwa dapat melaksanakan kepemimpinannya? Karena dalam terminologinya, takwa diartikan sebagai melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Takwa berarti taat dan patuh serta takut melanggar/mengingkari dari segala bentuk perintah Allah.
Dalam kisah pengangkatan Thalut sebagai raja untuk berperang melawan Jalut yang direkam oleh Alquran,[8] segelintir masyarakat menolak Thalut untuk menjadi raja mereka karena dianggap bukanlah dari kalangan orang kaya. Namun Thalut memang layak menjadi pemimpin karena ia dianugerahi Tuhan kelebihan ilmu pengetahuan dan jasmani. Pada akhirnya, memang Thalut pantas menjadi pemimpin karena ia berhasil mengalahkan pihak agresor yang dipimpin oleh Jalut Dari sinyalemen Alquran tersebut, kita bisa menilai bahwa faktor ilmu pengetahuan dan jasmani merupakan dua hal yang penting dalam memilih seorang pemimpin yang baik.
Ibnu Khaldun juga menguraikan syarat-syarat kepemimpinan (imamah) dalam kitab Muqaddimah-nya. Syarat-syarat itu adalah:[13]
a. Pengetahuan
Seorang pemimpin atau imam akan dapat menerapkan hukum-hukum Tuhan jika ia memang menguasai hukum-hukum tersebut. Jika tidak memiliki pengetahuan, maka bagaimana mungkin seorang pemimpin mampu memberikan keputusan atau kebijakan yang tepat bagi rakyatnya? Sementara jika seorang pemimpin hanya bisa taqlid buta, misalnya dengan hanya mengandalkan staf ahli kepresidenan, maka hal itu pun merupakan kekurangan. Karena ia berarti tidak sepenuhnya bebas mengambil keputusan. Ia kemungkinan bisa mendapat intervensi dari para stafnya.
b. Keadilan
Adalah sangat penting bagi seorang pemimpin untuk bersikap adil. Seorang pemimpin yang menjadi kepala negara misalnya, tentu memiliki berbagai lembaga yang menjadi bawahannya. Lembaga-lembaga itu pun tentu harus dipimpin oleh orang yang adil. Dengan demikian, seorang kepala negara harus mengawasi berbagai lembaga tersebut agar berjalan dengan baik dan keadilan diterapkan. Bagaimana seorang kepala negara bisa melakukan tindakan pengawasan jika ia sendiri bersikap tidak adil?!
c. Kesanggupan (capability)
Seorang pemimpin (imam) mesti bersedia melaksanakan hukum yang ditetapkan oleh undang-undang. Ia juga berani berperang, mengerti cara berperang, sanggup memobilisasi rakyat untuk berperang. Ia sanggup menggalang solidaritas sosial (ashabiyyah) dan mampu berdiplomasi. Kesanggupan itu diperlukan agar fungsinya untuk melindungi agama, berjihad melawan musuh, menegakkan hukum dan mengatur kepentingan umum tercapai dengan baik.
d. Sehat jasmani dan rohani
Panca indra dan anggota badan harus bebas dari cacat. Hal ini karena kesehatan jasmani dan rohani yang kurang akan berpengaruh pada kebebasan seorang pemimpin untuk bertindak. Ketidakbebasan seorang pemimpin tidak hanya karena faktor pada dirinya an sich. Namun hal itu juga bisa terjadi karena ditawan atau dipenjarakan oleh musuh yang berupaya merebut kekuasaannya. Jika hal tersebut terjadi, maka kepemimpinan beralih kepada pihak yang melakukan kudeta. Jika pihak yang melakukan kudeta bertindak adil dan sesuai dengan hukum dan aturan Islam, maka ia pun diakui sebagai pemimpin (imam) baru.
e. Keturunan Quraisy
Rasulullah pernah menyatakan “ “ Pemimpin itu harus dari keturunan bangsa Qurays;
Persyaratan ini tentu sangat sulit dicari, karena kita bukan dari jazirah Arab, dengan demikian kita bisa memahami secara substansial dari hadis tersebut bahwa Nabi menghendaki seorang pemimpin adalah berasal dari golongan yang paling berpengaruh,berwibawa dan disegani di antara golongan-golongan yang lain. Sebagaimana suku Kurays adalah suku yang paling terpandang, paling berpengaruh, berwibawa dan disegani oleh suku-suku lain;
Terkait dengan kriteria atau syarat pemimpin, khalifah Abu Bakar Assiddiq ra pernah berpidato saat dilantik menjadi pemimpin umat sepeninggal Rasulullah Saw. Inti dari isi pidato tersebut dapat dijadikan pandangan dalam memilih profil seorang pemimpin yang baik. Isi pidato tersebut








Artinya :
“Saudara-saudara, aku telah diangkat menjadi pemimpin bukanlah karena aku yang terbaik di antara kalian semuanya. Untuk itu jika aku berbuat baik bantulah aku, dan jika aku berbuat salah luruskanlah aku. Sifat jujur itu adalah amanah, sedangkan kebohongan itu adalah pengkhianatan. ‘Orang lemah’ di antara kalian aku pandang kuat posisinya di sisiku dan aku akan melindungi hak-haknya. ‘Orang kuat’ di antara kalian aku pandang lemah posisinya di sisiku dan aku akan mengambil hak-hak mereka yang mereka peroleh dengan jalan yang jahat untuk aku kembalikan kepada yang berhak menerimanya. Janganlah di antara kalian meninggalkan jihad, sebab kaum yang meninggalkan jihad akan ditimpakan kehinaan oleh Allah Swt. Patuhlah kalian kepadaku selama aku mematuhi Allah dan Rasul-Nya. Jika aku durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya maka tidak ada kewajiban bagi kalian untuk mematuhiku. Kini marilah kita menunaikan salat. Semoga Allah Swt melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua.”[14]
Dari Pidato Khalifah Abubakar setidaknya Ada 7 poin yang dapat diambil intisarinya , di antaranya:[15]
a. Sifat rendah hati
Pada hakikatnya kedudukan pemimpin itu tidak berbeda dengan kedudukan rakyatnya. Ia bukan orang yang harus terus diistimewakan. Ia hanya sekedar orang yang harus didahulukan selangkah dari yang lainnya karena ia mendapatkan kepercayaan dalam memimpin dan mengemban amanat. Ia seolah pelayan rakyat yang di atas pundaknya terletak amanat besar yang mesti dipertanggungjawabkan. Dan seperti seorang “partner” dalam batas-batas yang tertentu bukan seperti “tuan dengan hambanya”. Kerendahan hati biasanya mencerminkan persahabatan dan kekeluargaan, sebaliknya egoisme mencerminkan sifat takabur dan ingin menang sendiri.
b. Sifat terbuka untuk dikritik
Seorang pemimpin haruslah menanggapi aspirasi-aspirasi rakyat dan terbuka untuk menerima kritik-kritik sehat yang membangun dan konstruktif. Karena bagaimanapun dalam Islam, penguasa tidak memiliki kekuasaan mutlak, karena kekuasaan mutlak itu hanya milik Allah semata, dan hukum-Nyalah yang berkuasa.[16] Dengan demikian, seorang penguasa pun bisa salah. Tidak seyogianya penguasa menganggap kritikan itu sebagai hujatan atau orang yang mengkritik sebagai lawan yang akan menjatuhkannya lantas dengan kekuasaannya menzalimi orang tersebut. Tetapi harus diperlakukan sebagai “mitra”dengan kebersamaan dalam rangka meluruskan dari kemungkinan buruk yang selama ini terjadi untuk membangun kepada perbaikan dan kemajuan. Dan ini merupakan suatu partisipasi sejati sebab sehebat apapun seorang pemimpin itu pastilah memerlukan partisipasi dari orang banyak dan mitranya. Di sinilah perlunya social-support dan social-control. Prinsip-prinsip dukungan dan kontrol masyarakat ini bersumber dari norma-norma Islam yang diterima secara utuh dari ajaran Nabi Muhammad Saw.
c. Sifat jujur dan memegang amanah
Kejujuran yang dimiliki seorang pemimpin merupakan simpati rakyat terhadapnya yang dapat membuahkan kepercayaan dari seluruh amanat yang telah diamanahkan. Pemimpin yang konsisten dengan amanat rakyat menjadi kunci dari sebuah kemajuan dan perbaikan. Jika pemimpin berkualifikasi demikian, maka upaya untuk menegakkan sebuah negara kesejahteraan (welfare state) sebagaimana yang dikehendaki oleh negara-negara demokratis modern kemungkinan besar bisa terwujud.[17]
d. Sifat berlaku adil
Sikap ini harus dimiliki oleh seorang pemimpin dengan tujuan demi kemakmuran rakyatnya. Islam meletakkan soal penegakan keadilan itu sebagai sikap yang esensial. Seorang pemimpin harus mampu menimbang dan memperlakukan sesuatu dengan seadil-adilnya bukan sebaliknya berpihak pada seorang saja. Dan orang yang “lemah” harus dibela hak-haknya dan dilindungi, sementara orang yang “kuat” dan bertindak zalim harus dicegah dari bertindak sewenang-wenangnya. Adil yang dikehendaki Islam sebagaimana juga diuraikan Aristoteles, adalah adil yang mampu menghasilkan dan menyelamatkan kebahagiaan komunitas sosial dan politik.[18]
e. Komitmen dalam perjuangan.
Sifat pantang menyerah dan konsisten pada konstitusi bersama bagi seorang pemimpin adalah penting. Teguh dan terus istiqamah dalam menegakkan kebenaran dan keadilan. Pantang tergoda oleh rayuan dan semangat menjadi orang yang pertama di depan musuh-musuh yang hendak menghancurkan konstitusi yang telah disepakati bersama. Bukan sebagai penonton di kala perang.
f. Bersikap demokratis.
Demokrasi merupakan “alat” untuk membentuk masyarakat yang madani, dengan prinsip-prinsip segala sesuatunya dari rakyat untuk rakyat dan oleh rakyat. Dalam hal ini, pemimpin tidak sembarang memutuskan sebelum adanya musyawarah yang mufakat. Sebab dengan keterlibatan rakyat terhadap pemimpinnya dalam sebuah kesepakatan bersama akan memberikan kepuasan, sehingga apapun yang akan terjadi baik buruknya bisa ditanggung bersama-sama.
g. Berbakti dan mengabdi kepada Allah.
Dalam hidup ini segala sesuatunya takkan terlepas dari pantauan Allah, manusia bisa berusaha semampunya dan sehebat-hebatnya namun yang menentukannya adalah Allah. Hubungan seorang pemimpin dengan Tuhannya tak kalah pentingnya; yaitu dengan berbakti dan mengabdi kepada Allah. Semua ini dalam rangka memohon pertolongan dan ridha Allah semata. Dengan senantiasa berbakti kepada-Nya terutama dalam menegakkan shalat lima waktu contohnya, seorang pemimpin akan mendapat hidayah untuk menghindari perbuatan-perbuatan yang keji dan tercela. Selanjutnya ia akan mampu mengawasi dirinya dari perbuatan-perbuatan hina tersebut, karena dengan shalat yang baik dan benar menurut tuntunan ajaran Islam dapat mencegah manusia dari perbuatan keji dan mungkar.[19] Sifat yang harus terus ia aktualisasikan adalah rela menerima apa yang dicapainya. Syukur bila meraih suatu keberhasilan dan memacunya kembali untuk lebih maju lagi, sabar serta tawakal dalam menghadapi setiap tantangan dan rintangan, sabar dan tawakal saat menghadapi kegagalan.
Dari berbagai persyaratan yang diungkapkan para ulama di atas, kita menyadari bahwa memilih pemimpin bukan didasari oleh sikap pilih kasih, nepotisme atau kecenderungan primordial yang sempit. Bukan pula memilih seorang pemimpin yang gila jabatan, ambisius dalam meraih kursi jabatan atau memiliki vested interest. Tapi hendaknya kepemimpinan diberikan kepada orang yang “ikhlas” dan dipercaya dalam mengemban amanah. Senantiasa memprioritaskan kemaslahatan umat daripada kepentingan pribadi, kelompok atau keluarga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar