Senin, 13 September 2010

isra'mi'raj

Isra’ Mi’raj
Membumikan Al-Quran oleh Dr. M. Quraish ShihabMaknaIsra'danMi'rajPerjalanan Nabi Muhammad saw. dari Makkah ke Bayt Al-Maqdis, kemudian naik ke Sidrat Al-Muntaha, bahkan melampauinya, serta kembalinya ke Makkah dalam waktu sangat singkat, merupakan tantangan terbesar sesudah Al-Quran disodorkan oleh Tuhan kepada umat manusia. Peristiwa ini membuktikan bahwa 'ilm dan qudrat Tuhan meliputi dan menjangkau, bahkan mengatasi, segala yang finite (terbatas) dan infinite (tak terbatas) tanpa terbatas waktu atau ruang.Kaum empirisis dan rasionalis, yang melepaskan diri dari bimbingan wahyu, dapat saja menggugat: Bagaimana mungkin kecepatan, yang bahkan melebihi kecepatan cahaya, kecepatan yang merupakan batas kecepatan tertinggi dalam continuum empat dimensi ini, dapat terjadi? Bagaimana mungkin lingkungan material yang dilalui oleh Muhammad saw. tidak mengakibatkan gesekan-gesekan panas yang merusak tubuh beliau sendiri? Bagaimana mungkin beliau dapat melepaskan diri dari daya tarik bumi? Ini tidak mungkin terjadi, karena ia tidak sesuai dengan hukum-hukum alam, tidak dapat dijangkau oleh pancaindera, bahkan tidak dapat dibuktikan oleh patokan-patokan logika. Demikian kira-kira kilah mereka yang menolak peristiwaini. Memang, pendekatan yang paling tepat untuk memahaminya adalah pendekatan imaniy. Inilah yang ditempuh oleh Abu Bakar AlShiddiq, seperti tergambar dalam ucapannya: "Apabila Muhammad yang memberitakannya, pasti benarlah adanya." Oleh sebab itu, uraian ini berusaha untuk memahami peristiwa tersebut melalui apa yang kita percayai kebenarannya berdasarkan bukti-bukti ilmiah yang dikemukakan oleh Al-Quran.Salah satu hal yang menjadi pusat pembahasan Al-Quran adalah masa depan ruhani manusia demi mewujudkan keutuhannya. Uraian Al-Quran tentang Isra' dan Mi'raj merupakan salah satu cara pembuatan skema ruhani tersebut. Hal ini terbukti jelas melalui pengamatan terhadap sistematika dan kandungan Al-Quran, baik dalam bagian-bagiannya yang terbesar maupun dalam ayat-ayatnya yang terinci.Tujuh bagian pertama Al-Quran membahas pertumbuhan jiwa manusia sebagai pribadi-pribadi yang secara kolektif membentuk umat.Dalam bagian kedelapan sampai keempat belas, Al-Quran menekankan pembangunan manusia seutuhnya serta pembangunan masyarakat dan konsolidasinya. Tema bagian kelima belas mencapai klimaksnya dan tergambar pada pribadi yang telah mencapai tingkat tertinggi dari manusia seutuhnya, yakni al-insan al-kamil. Dan karena itu, peristiwa Isra' dan Mi'raj merupakan awal bagian ini, dan berkelanjutan hingga bagian kedua puluh satu, di mana kisah para rasul diuraikan dari sisi pandangan tersebut. Kemudian, masalah perkembangan ruhani manusia secara orang per orang diuraikan lebih lanjut sampai bagian ketiga puluh, dengan penjelasan tentang hubungan perkembangan tersebut dengan kehidupan masyarakat secara timbal-balik.Kemudian, kalau kita melihat cakupan lebih kecil, maka ilmuwan-ilmuwan Al-Quran, sebagaimana ilmuwan-ilmuwan pelbagai disiplin ilmu, menyatakan bahwa segala sesuatu memiliki pendahuluan yang mengantar atau menyebabkannya. Imam Al-Suyuthi berpendapat bahwa pengantar satu uraian dalam Al-Quran adalah uraian yang terdapat dalam surat sebelumnya.204 Sedangkan inti uraian satu surat dipahami dari nama surat tersebut, seperti dikatakan oleh Al-Biqai'i.205 Dengan demikian, maka pengantar uraian peristiwa Isra' adalah surat yang dinamai Tuhan dengan sebutan Al-Nahl, yang berarti lebah.
Mengapa lebah? Karena makhluk ini memiliki banyak keajaiban. Keajaibannya itu bukan hanya terlihat pada jenisnya, yang jantan dan betina, tetapi juga jenis yang bukan jantan dan bukan betina. Keajaibannya juga tidak hanya terlihat pada sarang-sarangnya yang tersusun dalam bentuk lubang-lubang yang sama bersegi enam dan diselubungi oleh selaput yang sangat halus menghalangi udara atau bakteri menyusup ke dalamnya, juga tidak hanya terletak pada khasiat madu yang dihasilkannya, yang menjadi makanan dan obat bagi sekian banyak penyakit. Keajaiban lebah mencakup itu semua, dan mencakup pula sistem kehidupannya yang penuh disiplin dan dedikasi di bawah pimpinan seekor "ratu". Lebah yang berstatus ratu ini pun memiliki keajaiban dan keistimewaan. Misalnya, bahwa sang ratu ini, karena rasa "malu" yang dimiliki dan dipeliharanya, telah menjadikannya enggan untuk mengadakan hubungan seksual dengan salah satu anggota masyarakatnya yang jumlahnya dapat mencapai sekitar tiga puluh ribu ekor. Di samping itu, keajaiban lebah juga tampak pada bentuk bahasa dan cara mereka berkomunikasi, yang dalam hal ini telah dipelajari secara mendalam oleh seorang ilmuwan Austria, Karl Van Fritch.
Lebah dipilih Tuhan untuk menggambarkan keajaiban ciptaan-Nya agar menjadi pengantar keajaiban perbuatan-Nya dalam peristiwa Isra' dan Mi'raj. Lebah juga dipilih sebagai pengantar bagi bagian yang menjelaskan manusia seutuhnya. Karena manusia seutuhnya, manusia mukmin, menurut Rasul, adalah "bagaikan lebah, tidak makan kecuali yang baik dan indah, seperti kembang yang semerbak; tidak menghasilkan sesuatu kecuali yang baik dan berguna, seperti madu yang dihasilkan lebah itu.
Dalam cakupan yang lebih kecil lagi, kita melontarkan pandangan kepada ayat pertama surat pengantar tersebut. Di sini Allah berfirman: Telah datang ketetapan Allah (Hari Kiamat). Oleh sebab itu janganlah kamu meminta agar disegerakan datangnya.
Dunia belum kiamat, mengapa Allah mengatakan kiamat telah datang? Al-Quran menyatakan "telah datang ketetapan Allah," mengapa dinyatakan-Nya juga "jangan meminta agar disegerakan datangnya"? Ini untuk memberi isyarat sekaligus pengantar bahwa Tuhan tidak mengenal waktu untuk mewujudkan sesuatu. Hari ini, esok, juga kemarin, adalah perhitungan manusia, perhitungan makhluk. Tuhan sama sekali tidak terikat kepadanya, sebab adalah Dia yang menguasai masa. Karenanya Dia tidak membutuhkan batasan untuk mewujudkan sesuatu. Dan hal ini ditegaskan-Nya dalam surat pengantar ini dengan kalimat: Maka perkataan Kami kepada sesuatu, apabila Kami menghendakinya, Kami hanya menyatakan kepadanya "kun" (jadilah), maka jadilah ia (QS 16:40).
Di sini terdapat dua hal yang perlu digarisbawahi. Pertama, kenyataan ilmiah menunjukkan bahwa setiap sistem gerak mempunyai perhitungan waktu yang berbeda dengan sistem gerak yang lain. Benda padat membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan suara. Suara pun membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan dengan cahaya. Hal ini mengantarkan para ilmuwan, filosof, dan agamawan untuk berkesimpulan bahwa, pada akhirnya, ada sesuatu yang tidak membutuhkan waktu untuk mencapai sasaran apa pun yang dikehendaki-Nya. Sesuatu itulah yang kita namakan Allah SWT, Tuhan Yang Mahaesa.
Kedua, segala sesuatu, menurut ilmuwan, juga menurut Al-Quran, mempunyai sebab-sebab. Tetapi, apakah sebab-sebab tersebut yang mewujudkan sesuatu itu? Menurut ilmuwan, tidak. Demikian juga menurut Al-Quran. Apa yang diketahui oleh ilmuwan secara pasti hanyalah sebab yang mendahului atau berbarengan dengan terjadinya sesuatu. Bila dinyatakan bahwa sebab itulah yang mewujudkan dan menciptakan sesuatu, muncul sederet keberatan ilmiah dan filosofis.
Bahwa sebab mendahului sesuatu, itu benar. Namun kedahuluan ini tidaklah dapat dijadikan dasar bahwa ialah yang mewujudkannya. "Cahaya yang terlihat sebelum terdengar suatu dentuman meriam bukanlah penyebab suara tersebut dan bukan pula penyebab telontarnya peluru," kata David Hume. "Ayam yang selalu berkokok sebelum terbit fajar bukanlah penyebab terbitnya fajar," kata Al-Ghazali jauh sebelum David Hume lahir. "Bergeraknya sesuatu dari A ke B, kemudian dari B ke C, dan dari C ke D, tidaklah dapat dijadikan dasar untuk menyatakan bahwa pergerakannya dari B ke C adalah akibat pergerakannya dari A ke B," demikian kata Isaac Newton, sang penemu gaya gravitasi.
Kalau demikian, apa yang dinamakan hukum-hukum alam tiada lain kecuali "a summary o f statistical averages" (ikhtisar dari rerata statistik). Sehingga, sebagaimana dinyatakan oleh Pierce, ahli ilmu alam, apa yang kita namakan "kebetulan" dewasa ini, adalah mungkin merupakan suatu proses terjadinya suatu kebiasaan atau hukum alam. Bahkan Einstein, lebih tegas lagi, menyatakan bahwa semua apa yang terjadi diwujudkan oleh "superior reasoning power" (kekuatan nalar yang superior). Atau, menurut bahasa Al-Quran, "Al-'Aziz Al-'Alim", Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui. Inilah yang ditegaskan oleh Tuhan dalam surat pengantar peristiwa Isra' dan Mi'raj itu dengan firman-Nya: Kepada Allah saja tunduk segala apa yang di langit dan di bumi, termasuk binatang-binatang melata, juga malaikat, sedangkan mereka tidak menyombongkan diri. Mereka takut kepada Tuhan mereka yang berkuasa atas mereka dan mereka melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka) (QS 16:49-50).
Pengantar berikutnya yang Tuhan berikan adalah: Janganlah meminta untuk tergesa-gesa. Sayangnya, manusia bertabiat tergesa-gesa, seperti ditegaskan Tuhan ketika menceritakan peristiwa Isra' ini, Adalah manusia bertabiat tergesa-gesa (QS 17:11). Ketergesa-gesaan inilah yang antara lain menjadikannya tidak dapat membedakan antara: (a) yang mustahil menurut akal dengan yang mustahil menurut kebiasaan, (b) yang bertentangan dengan akal dengan yang tidak atau belum dimengerti oleh akal, dan (c) yang rasional dan irasional dengan yang suprarasional.
Dari segi lain, dalam kumpulan ayat-ayat yang mengantarkan uraian Al-Quran tentang peristiwa Isra' dan Mi'raj ini, dalam surat Isra' sendiri, berulang kali ditegaskan tentang keterbatasan pengetahuan manusia serta sikap yang harus diambilnya menyangkut keterbatasan tersebut. Simaklah ayat-ayat berikut: Dia (Allah) menciptakan apa-apa (makhluk) yang kamu tidak mengetahuinya (QS 16:8); Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui (QS 16:74); dan Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan kecuali sedikit (QS 17:85); dan banyak lagi lainnya. Itulah sebabnya, ditegaskan oleh Allah dengan firman-Nya: Dan janganlah kamu mengambil satu sikap (baik berupa ucapan maupun tindakan) yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentang hal tersebut; karena sesungguhnya pendengaran, mata, dan hati, kesemuanya itu kelak akan dimintai pertanggungjawaban (QS 17:36).
Apa yang ditegaskan oleh Al-Quran tentang keterbatasan pengetahuan manusia ini diakui oleh para ilmuwan pada abad ke-20. Schwart, seorang pakar matematika kenamaan Prancis, menyatakan: "Fisika abad ke-19 berbangga diri dengan kemampuannya menghakimi segenap problem kehidupan, bahkan sampai kepada sajak pun. Sedangkan fisika abad ke-20 ini yakin benar bahwa ia tidak sepenuhnya tahu segalanya, walaupun yang disebut materi sekalipun." Sementara itu, teori Black Holes menyatakan bahwa "pengetahuan manusia tentang alam hanyalah mencapai 3% saja, sedang 97% selebihnya di luar kemampuan manusia."
Kalau demikian, seandainya, sekali lagi seandainya, pengetahuan seseorang belum atau tidak sampai pada pemahaman secara ilmiah atas peristiwa Isra' dan Mi'raj ini; kalau betul demikian adanya dan sampai saat ini masih juga demikian, maka tentunya usaha atau tuntutan untuk membuktikannya secara "ilmiah" menjadi tidak ilmiah lagi. Ini tampak semakin jelas jika diingat bahwa asas filosofis dari ilmu pengetahuan adalah trial and error, yakni observasi dan eksperimentasi terhadap fenomena-fenomena alam yang berlaku di setiap tempat dan waktu, oleh siapa saja. Padahal, peristiwa Isra' dan Mi'raj hanya terjadi sekali saja. Artinya, terhadapnya tidak dapat dicoba, diamati dan dilakukan eksperimentasi.Itulah sebabnya mengapa Kierkegaard, tokoh eksistensialisme, menyatakan: "Seseorang harus percaya bukan karena ia tahu, tetapi karena ia tidak tahu." Dan itu pula sebabnya, mengapa Immanuel Kant berkata: "Saya terpaksa menghentikan penyelidikan ilmiah demi menyediakan waktu bagi hatiku untuk percaya." Dan itu pulalah sebabnya mengapa "oleh-oleh" yang dibawa Rasul dari perjalanan Isra' dan Mi'raj ini adalah kewajiban shalat; sebab shalat merupakan sarana terpenting guna menyucikan jiwa dan memelihara ruhani.Kita percaya kepada Isra' dan Mi'raj, karena tiada perbedaan antara peristiwa yang terjadi sekali dan peristiwa yang terjadi berulang kali selama semua itu diciptakan serta berada di bawah kekuasaan dan pengaturan Tuhan Yang Mahaesa.Sebelum Al-Quran mengakhiri pengantarnya tentang peristiwa ini, dan sebelum diungkapnya peristiwa ini, digambarkannya bagaimana kelak orang-orang yang tidak mempercayainya dan bagaimana pula sikap yang harus diambilnya. Allah berfirman: Bersabarlah wahai Muhammad; tiadalah kesabaranmu melainkan dengan pertolongan Allah. Janganlah kamu bersedih hati terhadap (keingkaran) mereka. Jangan pula kamu bersempit dada terhadap apa-apa yang mereka tipudayakan. Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang orang yang berbuat kebajikan. (QS 16:127-128). Inilah pengantar Al-Quran yang disampaikan sebelum diceritakannya peristiwa Isra' dan Mi'raj.Agaknya, yang lebih wajar untuk dipertanyakan bukannya bagaimana Isra' dan Mi 'raj terjadi, tetapi mengapa Isra' dan Mi 'raj.Seperti yang telah dikemukakan pada awal uraian, Al-Quran, pada bagian kedelapan sampai bagian kelima belas, menguraikan dan menekankan pentingnya pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan masyarakat beserta konsolidasinya. Ini mencapai klimaksnya pada bagian kelima belas atau surat ketujuh belas, yang tergambar pada pribadi hamba Allah yang di-isra'-kan ini, yaitu Muhammad saw., serta nilai-nilai yang diterapkannya dalam masyarakat beliau. Karena itu, dalam kelompok ayat yang menceritakan peristiwa ini (dalam surat Al-Isra'), ditemukan sekian banyak petunjuk untuk membina diri dan membangun masyarakat.Pertama, ditemukan petunjuk untuk melaksanakan shalat lima waktu (pada ayat 78). Dan shalat ini pulalah yang merupakan inti dari peristiwa Isra' dan Mi'raj ini, karena shalat pada hakikatnya merupakan kebutuhan mutlak untuk mewujudkan manusia seutuhnya, kebutuhan akal pikiran dan jiwa manusia, sebagaimana ia merupakan kebutuhan untuk mewujudkan masyarakat yang diharapkan oleh manusia seutuhnya. Shalat dibutuhkan oleh pikiran dan akal manusia, karena ia merupakan pengejawantahan dari hubungannya dengan Tuhan, hubungan yang menggambarkan pengetahuannya tentang tata kerja alam raya ini, yang berjalan di bawah satu kesatuan sistem. Shalat juga menggambarkan tata inteligensia semesta yang total, yang sepenuhnya diawasi dan dikendalikan oleh suatu kekuatan Yang Mahadahsyat dan Maha Mengetahui, Tuhan Yang Mahaesa. Dan bila demikian, maka tidaklah keliru bila dikatakan bahwa semakin mendalam pengetahuan seseorang tentang tata kerja alam raya ini, akan semakin tekun dan khusyuk pula ia melaksanakan shalatnya.Shalat juga merupakan kebutuhan jiwa. Karena, tidak seorang pun dalam perjalanan hidupnya yang tidak pernah mengharap atau merasa cemas. Hingga, pada akhirnya, sadar atau tidak, ia menyampaikan harapan dan keluhannya kepada Dia Yang Mahakuasa. Dan tentunya merupakan tanda kebejatan akhlak dan kerendahan moral, apabila seseorang datang menghadapkan dirinya kepada Tuhan hanya pada saat dirinya didesak oleh kebutuhannya.Shalat juga dibutuhkan oleh masyarakat manusia, karena shalat, dalam pengertiannya yang luas, merupakan dasar-dasar pembangunan. Orang Romawi Kuno mencapai puncak keahlian dalam bidang arsitektur, yang hingga kini tetap mengagumkan para ahli, juga karena adanya dorongan tersebut. Karena itu, Alexis Carrel menyatakan: "Apabila pengabdian, shalat, dan doa yang tulus kepada Sang Maha Pencipta disingkirkan dari tengah kehidupan bermasyarakat, maka hal itu berarti kita telah menandatangani kontrak bagi kehancuran masyarakat tersebut." Dan, untuk diingat, Alexis Carrel bukanlah seorang yang memiliki latar belakang pendidikan agama. Ia adalah seorang dokter yang telah dua kali menerima hadiah Nobel atas hasil penelitiannya terhadap jantung burung gereja serta pencangkokannya. Dan, menurut Larouse Dictionary, Alexis Carrel dinyatakan sebagai satu pribadi yang pemikiran-pemikirannya secara mendasar akan berpengaruh pada penghujung abad XX ini.
Apa yang dinyatakan ilmuwan ini sejalan dengan penegasan Al-Quran yang ditemukan dalam pengantar uraiannya tentang peristiwa Isra' dalam surat Al-Nahl ayat 26. Di situ digambarkan pembangkangan satu kelompok masyarakat terhadap petunjuk Tuhan dan nasib mereka menurut ayat tersebut: Allah menghancurkan bangunan-bangunan mereka dari fondasinya, lalu atap bangunan itu menimpa mereka dari atas; dan datanglah siksaan kepada mereka dari arah yang mereka tidak duga (QS 16:26).Kedua, petunjuk-petunjuk lain yang ditemukan dalam rangkaian ayat-ayat yang menjelaskan peristiwa Isra' dan Mi'raj, dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya dan masyarakat adil dan makmur, antara lain adalah: Jika kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mereka menaati Allah untuk hidup dalam kesederhanaan), tetapi mereka durhaka; maka sudah sepantasnyalah berlaku terhadap mereka ketetapan Kami dan Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya (QS 17:16)
Ditekankan dalam surat ini bahwa "Sesungguhnya orang yang hidup berlebihan adalah saudara-saudara setan" (QS 17:27).
Dan karenanya, hendaklah setiap orang hidup dalam kesederhanaan dan keseimbangan: Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu (pada lehermu dan sebaliknya), jangan pula kamu terlalu mengulurkannya, agar kamu tidak menjadi tercela dan menyesal (QS 17:29).
Bahkan, kesederhanaan yang dituntut bukan hanya dalam bidang ekonomi saja, tetapi juga dalam bidang ibadah. Kesederhanaan dalam ibadah shalat misalnya, tidak hanya tergambar dari adanya pengurangan jumlah shalat dari lima puluh menjadi lima kali sehari, tetapi juga tergambar dalam petunjuk yang ditemukan di surat Al-Isra' ini juga, yakni yang berkenaan dengan suara ketika dilaksanakan shalat: Janganlah engkau mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan jangan pula merendahkannya, tetapi carilah jalan tengah di antara keduanya (QS 17: 110).
Jalan tengah di antara keduanya ini berguna untuk dapat mencapai konsentrasi, pemahaman bacaan dan kekhusyukan. Di saat yang sama, shalat yang dilaksanakan dengan "jalan tengah" itu tidak mengakibatkan gangguan atau mengundang gangguan, baik gangguan tersebut kepada saudara sesama Muslim atau non-Muslim, yang mungkin sedang belajar, berzikir, atau mungkin sedang sakit, ataupun bayi-bayi yang sedang tidur nyenyak. Mengapa demikian? Karena, dalam kandungan ayat yang menceritakan peristiwa ini, Tuhan menekankan pentingnya persatuan masyarakat seluruhnya. Dengan demikian, masing-masing orang dapat melaksanakan tugas sebaik-baiknya, sesuai dengan kemampuan dan bidangnya, tanpa mempersoalkan agama, keyakinan, dan keimanan orang lain. Ini sesuai dengan firman Allah:
Katakanlah wahai Muhammad, "Hendaklah tiap-tiap orang berkarya menurut bidang dan kemampuannya masing-masing." Tuhan lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya (QS 17:84).Akhirnya, sebelum uraian ini disudahi, ada baiknya dibacakan ayat terakhir dalam surat yang menceritakan peristiwa Isra' dan Mi'raj ini: Katakanlah wahai Muhammad: "Percayalah kamu atau tidak usah percaya (keduanya sama bagi Tuhan)." Tetapi sesungguhnya mereka yang diberi pengetahuan sebelumnya, apabila disampaikan kepada mereka, maka mereka menyungkur atas muka mereka, sambil bersujud (QS 17: 107).
Itulah sebagian kecil dari petunjuk dan kesan yang dapat kami pahami, masing-masing dari surat pengantar uraian peristiwa Isra ; yakni surat Al-Nahl, dan surat Al-Isra' sendiri. Khusus dalam pemahaman tentang peristiwa Isra' dan Mi'raj ini, semoga kita mampu menangkap gejala dan menyuarakan keyakinan tentang adanya ruh intelektualitas Yang Mahaagung, Tuhan Yang Mahaesa di alam semesta ini, serta mampu merumuskan kebutuhan umat manusia untuk memujaNya sekaligus mengabdi kepada-Nya.
Catatan kaki204 Lihat bukunya, Asrar Tartib Al-Qur'an.205 Lihat dalam pengantar untuk bukunya, Nazhm Al-Durar fi Tanasub Al-Ayat wa Al-Suwar.Silakan kunjungi: penjelasan Isra' Mi'raj melalui cerita sufi.-MEMBUMIKAN AL-QURANFungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan MasyarakatDr. M. Quraish ShihabPenerbit Mizan, Cetakan 13, Rajab 1417/November 1996Jln. Yodkali 16, Bandung 40124Telp. (022) 700931 - Fax. (022) 707038mailto:mizan@ibm.netHabib Munzir Al Musawwa : Rahasia - Makna Isra Mi’rajPublished on June 18, 2010 in Bulan Rajab and Artikel Islam. Pertanyaanapakah sholat nabi yang menjadi imam pada saat di masjidil aqsha itu seperti sholat kita ini bibJawaban Habib Munzir Al Musawwahal itu dibahas panjang lebar oleh Al Imam Nawawi dalam kitabnya Syarh Nawawi ala shahih Muslim dan Al Imam Ibn Hajar dalam kitabnya fathul bisyarh shahih Bukhari, mereka mengatakan sebagian ulama berpendapat bahwa para Nabi bermakmum pada Rasul saw dengan tubuh jasadnya, sebagian lain berpendapat hanya ruh mereka saja, sebagian lain berpendapat adalah pertemuan saja dan bukan bermakmum, namun pendapat yg lebih banyak adalah para Nabi shalat bermakmum pada Nabi Muhammad saw.Pertanyaanapa makna dari perintah sholat yang ditetapkan Allah dari 50 kali sehari berkurang terus sampai 5x sehari, maksutnya dari pertanyaan saya adalah perjalanan bolak balik Nabi untuk menerima perintah sholat, dari tempat nabi musa kepada Allah.Jawaban Habib Munzir Al Musawwakasih sayang Allah swt ditunjukkan pada ummat ini, bahwa Allah Maha Tahu bahwa yg diwajibkan adalah 5 waktu, namun Allah swt awalnya memberikan perintah 50 waktu, lalu diringankan menjadi 5 waktu dengan pahala 50 waktu (10x lipat), hal ini untuk menunjukkan kasih sayang Allah swt pd ummat ini, dan keperdulian sang Nabi saw pada ummat beliau sawPertanyaanbagaimana menurut pendapat habib bila kesimpulan saya bahwa Nabi bertatapmuka dengan dzat Allah di sidhratul muntaha, apa salah pemahaman saya, apa benar hanya nabi kita yang bisa sampai ke tempat ituJawaban Habib Munzir Al MusawwaNabi saw melihat Allah swt dimalam itu, memang ada pendapat yg mengatakan bahwa Nabi saw takmelihatr Allah swt saat itu namun pendapat yg lebih kuat adalah yg mengatakan bahwa Nabi saw melihat Allah swtSumber: Habib Munzir Al MusawwaREVITALISASI MAKNA ISRA’ DAN MI’RAJPosted on 4 July 2009 by Ahmad Syafaat Oleh Syafaat*Isra’ lazim dimaknai sebagai perjalanan Rasulullah di waktu malam dari masjid al-Haram ke masjid al-Aqsha. Makna tersebut merupakan makna historis yang statis, padahal sebuah istilah itu bersifat open source, artinya ia selalu terbuka untuk ditelaah lebih jauh dari berbagai perspektif. Setiap istilah tentu muncul dari konteks sosio-kultural tertentu lalu mendapat sentuhan wahyu. Seiring dengan perkembangan zaman, agar sebuah istilah itu tetap hidup dan kontekstual, ia perlu dimaknai ulang (revitalisasi) tanpa menghilangkan elan vital dari makna asalnya. Perkembangan disiplin ilmu linguistik yang variatif dewasa ini cukup membantu penelaahan terhadap sebuah istilah.Demikian halnya dengan kata isra’, kalau ditelaah dari aspek morfologis, ia berasal dari kata kerja transitif: asra – yusri – isra-an (artinya menjalankan seseorang di waktu malam) yang merupakan derivasi dari kata kerja intransitif: saraa – yasri – sirayatan (artinya berjalan di waktu malam). Tinjauan morfologis tersebut bila dikaitkan dengan potongan ayat 1 surat al-Isra’; “… Asra bi ‘abdihi lailan …”, kita mendapatkan pelajaran yang berharga. Manusia (‘abd) adalah obyek dari segala kehendak Tuhan, termasuk Dialah yang menjalankan manusia (isra’) ke arah tertentu sesuai kehendak-Nya di waktu malam (lail). Kata ‘malam’ identik dengan kegelapan, kebodohan, ketidaktahuan manusia akan apa yang bakal terjadi kemudian. Alhasil, semua yang melekat pada diri manusia hakikatnya adalah manifestasi dari iradah Allah. Nasib manusia senantiasa berada dalam genggaman-Nya. Hidup ini penuh dengan misteri dan manusia hanya bisa menyingkap gejala-gejala alam inderawi saja. Selebihnya, manusia hanya bisa pasrah dan mendekat pada Allah SWT.Bencana alam datang silih berganti di negeri kita ini, jangankan untuk menghindarkannya, memprediksi dan mengantisipasinya pun manusia tak berdaya. Bencana apa lagi yang akan dihadapi bangsa Indonesia, tak seorangpun tahu. Jadi, konsep isra’ menyadarkan manusia akan posisinya sebagai hamba yang lemah. Kesombongan, keangkuhan hanya milik Allah jua. Pemahaman akan hakikat isra’ ini akan membawa manusia pada sifat tawaddlu’, tawakkal, sabar, dan selalu waspada.Sedangkan kata mi’raj berasal dari ‘araja yang berarti naik. Dalam al-Qur’an sebenarnya tidak ditemukan kata mi’raj atau derivasinya yang mengacu pada perjalanan Nabi dari baitul maqdis ke sidratul muntaha. Yang ada hanyalah informasi di surat an-Najm ayat 14; “’inda sidratil muntaha’ (Nabi berada di “pohon penghujung” di langit ke tujuh dekat ‘arsy dan surga ma’wa)”. Kendatipun demikian pemilihan kata mi’raj lebih tepat daripada pada kata arab yang lain seperti mish’ad (naik dengan tangga), mirqat (naik melewati tanjakan).Kata “naik”, sering dikaitkan dengan hal-hal yang prestisius seperti derajat, jabatan, dan tahta. Semua itu dapat diraih tentu dengan perjuangan panjang dan jerih payah ekstra, bukan datang secara instan tanpa sebab. Di sinilah, Islam mengajarkan manusia agar selalu bekerja keras, bahkan rasul dan nabipun tidak ada yang gratis mendapatkan predikat kerasulan dan kenabian. Berbagai ujian menghadang untuk meruntuhkan misi yang dibawanya, ujian yang datang bertubi-tubi mereka lawan dengan keteguhan dan kesabaran, akhirnya sukses.Demikian juga seorang muslim yang ingin ditinggikan derajatnya oleh Allah, dia mesti melalui proses panjang berliku, untuk menundukkan hawa nafsu dan mengabdi pada perintah, seperti menegakkan shalat. Rasululullah mengintrodusir shalat sebagai “mi’raj al-mukmin” (perjalanan spiritual mukmin menuju Tuhan). Shalat hanyalah salah satu entry point menuju tatanan hidup yang tenteram dan berujung pada ridla Allah (baldah thayyibah wa rabbun ghafur). Dengan shalat manusia diharapkan mampu meredam nafsu hewaniah dan iblisiyah serta lebih mengedepankan naluriah dan nalariah, saat berinteraksi dengan sesama manusia agar tidak ada lagi kemungkaran, korupsi, kekerasan, penggunaan narkoba. Hubungan antara shalat dengan amar ma’ruf nahi munkar adalah hubungan sinergis bukan kausalitas. Tidak ada jaminan orang yang shalat, tidak melakukan kekerasan, sama halnya tidak jaminan orang yang menunaikan ibadah, bebas dari korupsi. Fungsi shalat sebatas memberikan trigger (pemicu) untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Dengan kata lain, orang yang sudah punya modal kebaikan lewat shalat harus berkomitmen kembali melakukan amar ma’ruf nahi munkar secara dinamis dan berkesinambungan.Di samping ada hikmah yang bisa digali dari kajian morfologis isra’ mi’raj, kita juga bisa belajar dari rahasia urutan kata isra yang diikuti mi’raj. Seyogyanya manusia mendahulukan aspek horizontal (hablum min annas) lalu aspek vertikal (hablum min allah). Dalam fenomena keseharian, banyak dijumpai orang yang lebih menekankan mi’raj (hubungan vertikal dengan Tuhan) dengan melakukan banyak ibadah sampai pada batas ekstrim, sementara tuntutan isra’ (hubungan horizontal dengan sesama manusia) belum terpenuhi. Akibatnya, kekerasan yang dilakukan oknum pemeluk umat beragama tidak jarang justru dijadikan pretensi sebagai sebuah kesalehan dan tingginya kualitas iman, adapun keramahan dan ke-rahmah-an (kasih sayang) sesama makhluk tuhan, nyaris terabaikan.Agama pada prinsipnya menuntut keseimbangan antara kesalahan sosial dengan kesalehan individual guna merealisasikan sukses dunia dan akherat. Bahkan, hasil penelitian yang dilakukan Jalalaluddin Rakhmat (1991) menyimpulkan bahwa kesalehan sosial harus lebih diprioritaskan, dengan alasan: (1) dalam al-Qur’an dan As-Sunnah proporsi terbesar ditujukan pada urusan sosial, (2) dalam kenyataannya bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang penting, maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan, (3) ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar daripada ibadah yang bersifat perseorangan, dan (4) bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal, maka kafarat nya (tebusannya) ialah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial.Saatnya semangat isra’ mi’raj menggelinding layaknya bola salju membawa energi maha dahsyat guna menyapu habis ketidakadilan, korupsi, kekerasan, kemusrikan, otoritarian, hipokrit, sehingga bangsa Indonesia cepat bangkit menjadi bangsa yang maju dan bermartabat
Total: 0 comments + Add new comment
Comments - discussions
This event has no comments yet
Total: 1 pictures View all + Add new picture
Pictures
Top
(30 Juni 2010 3:59)

0
-
+
Last added
(30 Juni 2010 3:59)

0
-
+
Total: 0 links + Add new link
Links
This event has no links yet
google_protectAndRun("ads_core.google_render_ad", google_handleError, google_render_ad);
My groups
function uccategoriesmynarrowbox_refresh() {
$.get("/ID/Categories/UcCategoriesMyBox?sizeType=0", null, function (data, textStatus) {
if (isException(data))
return false;
if (textStatus == "success")
$(".mycat_panel").html(data);
});
}
$(function () {
if (FB.XFBML)
if (FB.XFBML.Host)
if (FB.XFBML.Host.parseDomTree)
setTimeout(FB.XFBML.Host.parseDomTree, 0);
});
to create your own groups or log in!
$(function () {
$(".link-login").click(function (e) {
e.preventDefault();
showLoginWindow('Loading... please wait');
});
});
Related events next 7 days
Isra Wal Mi'raj Nabi Muhammad SAW 1431 H.
10 Juli 2010
Bogor, Indonesia
GEBYAR MAHA BINTANG Herbalis
11 Juli 2010
silaturrahmi pengurus dan anggota RIAAD
11 Juli 2010
Show more
Top events next 90 days
PAINTING EXHIBITION HARMONY COLOURS 2010, GRAND INDONESIA JAKARTA
26 Juli 2010
Jakarta, Indonesia

CONTINUING MEDICAL EDUCATION ON NEUROLOGY
16 Juli 2010

Merasakan Gebrakan Baru PO. Mulyo Indah
09 Juli 2010

Show all

Tidak ada komentar:

Posting Komentar