Senin, 13 September 2010

perlawanan eksekusi

PERLAWANAN TEREKSEKUSI TERHADAP EKSEKUSI DENGAN ALASAN ADANYA PERDAMAIAN KEDUA BELAH PIHAK

Oleh : Drs. H. A. Siddiq,MH

A. Pendahuluan

Eksekusi adalah sebagai tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara, Oleh karena itu eksekusi tiada lain daripada tindakan berkesinambungan dari keseluruh proses hukum acara perdata yang tidak dapat dipisahkan dari pelaksanaan tata tertib beracara yang terkandung dalam HIR maupun RBG.
Bahwa pada hakikatnya perdamaian mengakhiri atau menyelesaikan sengketa, maka apabila dibuat perdamaian yang menyangkut penyelesaian eksekusi, maka eksekusi tersebut dianggap selesai dan langsung ditampung oleh perdamaian mengenai cara penyelesaiannya.
Namun pada kenyataannya terhadap setiap eksekusi selalu ada reaksi yang bermacam-macam, adakalanya permintaan penundaan datang dari pihak tereksekusi sendiri, tapi adakalanya permintaan penundaan dari pihak ketiga; Berbagai macam alasan yang dikemukakan, terkadang alasan permohonan penundaan tidak relevan, sehingga terkesan mengulur-ngulur waktu eksekusi; Namun terkadang permohonan penundaan mempunyai bobot yang kuat, yang perlu untuk diperhatikan dan dipertimbangkan, tetapi juga penundaan sama sekali tidak beralasan, terkadang juga membutuhkan pemikiran yang arif, sebagai mana judul makalah yang kita bahas ini, apakah perlawanan tereksekusi terhadap eksekusi dengan alasan perdamaian kedua belah pihak dapat dibenarkan ? ataukah masih ada upaya yang lain yang ditempuh ? Hal ini perlu ada kajian lebih lanjut dan menjadi topik pembicaraan kita bersama;


PEMBAHASAN TENTANG PERLAWANAN EKSEKUSI TERHADAP EKSEKUSI DENGAN ALASAN PERDAMAIAN KEDUA BELAH PIHAK.

Istilah “eksekusi” oleh Prof.Subekti dialihkan dengan istilah pelaksanaan putusan ( Prof R.Subekti,SH 1977:128) Begitupula Nyonya Retno Wulan Sutantio,SH juga mengalihkannya dengan istilah “pelaksanaan putusan; sedangkan yahya harahap membakukan istilah “pelaksanaan” putusan sebagai ganti eksekusi; menurut dia, hal ini sudah tepat Sebab jika bertitik tolak dari ketentuan HIR,maupun RBG pengertian eksekusi sama dengan pengertian “menjalan putusan”, menjalankan putusan pengadilan, tiada lain daripada melaksanakan isi putusan pengadilan. Yakni melaksanakan secara paksa putusan pengadilan dengan bantuan kekuatan umum apabila pihak yang kalah (tereksekusi atau pihak tergugat) tidak mau menjalankannya secara sukarela;(Yahya harahap 1988 :4)
Secara teori mungkin masih benar pandangan, bahwa dalam Negara hukum yang tunduk kepada the rule of law, kedudukan peradilan dianggap sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman (Judicial power) yang berperan sebagai katup penekan (pressure valve) atas segala pelanggaran hukum dan ketertiban masyarakat; Oleh karena itu peradilan masih tetap relevan sebagai the last resort atau tempat terakhir mencari kebenaran dan keadilan, sehingga secara teoritis masih diandalkan sebagai badan yang berfungsi dan berperan menegakkan kebenaran dan keadilan; Akan tetapi pengalaman pahit yang menimpa masyarakat, terkadang masih mempertontonkan system peradilan yang masih kurang efektif, tidak efesien; Dalam penanganan perkara terkadang memakan waktu bertahun-tahun, proses yang bertele tele yang dililit lingkaran upaya hukum yang tidak berujung; Mulai dari banding, kasasi dan peninjauan kembali; Setelah putusan berkekuatan hukum tetap, eksekusi dibenturkan lagi dengan upaya verzet maupun deden verzet,tanpa ujung penyelesaian hingga mengembara dan mengadu nasib dihutan belantara, padahal masyarakat pencari keadilan membutuhkan proses penyelesaian yang cepat;

Barangkali hanya dengan penyelesaian sengketa melalui perdamaian yang dapat diharapkan, karena jauh lebih efektif dan efesien sebagai cara penyelesaian sengketa diluar pengadilan atau yang dikenal dengan istilah alternative Dispute Resolotion (ADR) dengan baerbagai bentuk seperti mediasi (mediation) melalui sistim kompromi diatara para pihak, sedang pihak ketiga yang bertindak sebagai mediator hanya sebagai penolong (helper) dan fasilitator; atau melalui Konsiliasi(consiliation) melalui konsiliator (conciliator) dimana pihak yang ketiga yang bertindak sebagai konsiliator berperan merumuskan perdamaian (konsiliasi) tetapi keputusan tetap ditangan para pihak dan sebagainya;

Bahwa penyelesaian melalui upaya perdamaian mengandung berbagai
keuntungan subtansial dan psikologis diantaranya :

(a) Penyelesaian bersifat informal; yaitu melalui pendekatan nurani, bukan berdasarkan hukum, dimana kedua belah pihak melepaskan diri dari kekakuan istilah hukum (legal term) kepada pendekatan yang bercorak nurani moral. Menjauhkan pendekatan doktrin dan asas pembuktian kearah persamaan presepsi yang saling menguntungkan;
(b) Para Pihak Sendiri yang Menyelesaikan Sengketa;
Dalam hal ini penyelsaian tidak diserhkan kepada kemauan dan kehendak hakim atau arbiter, tetapi diselesaikan oleh para pihak sendiri sesuai kemauan mereka, karena merekalah yang lebih tahu hal yang sebenarnya dan sesungguhnya atas sengketa yang dipermasalahkan;
(c) Jangka Waktu Penyelesaian Pendek Dan Biaya Ringan;
Pada umumnya jangka waktu penyelesaian hanya satu atau dua minggu atau paling lama satu bulan, asal ada ketulusan dan kerendahan hati dari kedua belah pihak; Biayanyapun ringan dan murah;
(d) Aturan Pembuktian Tidak Perlu;
Tidak ada pertarungan yang sengit antara para pihak untuk saling membantah dan menjatuhkan pihak lawan melalui system dan prinsip pembuktian yang formil dan teknis yang sangat menjemukan;
(e) Proses Penyelesaian Bersifat Konfidensial;
Hal lain yang perlu dicatat, penyelesaian melalui perdamaian benar-benar bersifat rahasia atau konfidensial; atau penyelesainnya tertutup untuk umum, yang mengetahui pihak mediator atau konsiliator atau advisor maupun ahli yang bertindak membantu penyelesaian, dengan demikian tetap terjaga nama baik para pihak dalam masyarakat;
(f) Hubungan para Pihak Bersifat Kooperatif dan komunikasi dan Fokus penyelesaian;
Oleh karena yang berbicara dalam penyelesaian adalah hati Nurani, maka terjalin penyelesaian berdasarkan kerja sama, masing-masing menjauhkan dendam dan permusuhan, dan juga terwujud adanya komunikasi aktif antara para pihak, yang terpancar keinginan memperbaiki perselisihan dan kesalahan.
(g) Hasil Yang Dituju Sama Menang
Hasil yang dicari dan dituju para pihak dalam penyelesaian perdamaian dapat dikatakan sangat luhur, sama-sama menang yang disebut win-win solution, dengan menjauhkan diri dari sifat egoistic dan serakah, atau menang sendiri;
(h) Bebas Emosi dan dendam
Penyelesaian sengketa melalui perdamaian, meredam sikap emosional tinggi dan bergejolak, kearah suasana bebas emosi selama berlangsung penyelesaian mapun setelah penyelesaian dicapai, tidak diikuti dendam dan kebencian tetapi rasa kekeluargaan dan persaudaraan; (M.Yahya harahap,SH 2005:236)

Adapun putusan perdamaian atau akta perdamaian, melekat kekuatan hukum mengikat dan kekuatan hukum eksekusi; Putusan perdamaian persis sama dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap, yang dalam dirinya melekat kekuatan hukum mengikat kepada para pihak atau kepda orang yang mendapat hak dari mereka. Para pihak tidak dapat membatalkannya secara sepihak. Para pihak mesti menaati dan melaksanakan sepenuhnya isi yang tercantum dalam putusan perdamaian. Dengan demikian, terhadap putusan perdamaian berlaku ketentuan Pasal 1339 dan Pasal 1348 KUH Perdata.
Akan tetapi bukan saja kekuatan hukum mengikat yang melekat pada peraturan perdamaian. Bahkan sekaligus di dalamnya melekat kekuatan hukum eksekutorial. Ini berarti, apabila salah satu pihak enggan melaksanakan isi persetujuan perdamaian “secara sukarela”, pihak lain dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan , supaya pihak yang ingkar tadi dipaksa memenuhi isi putusan perdamaian, semua ketentuan eksekusi terhadap putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, berlaku sepenuhnya terhadap eksekusi putusan perdamaian. Jika putusan perdamaian mengandung eksekusi riil, maka segala ketentuan eksekusi riil yang diatur dalam Pasal 200 Ayat 11 HIR atau Pasal 1033 RV, berlaku sepenuhnya dalam kasus eksekusi putusan perdamaian. Kalau yang terkandung dalam putusan perdamaian berupa eksekusi pembayaran sejumlah uang, berlaku sepenuhnya aturan eksekusi yang diatur dalam pasal 195 sampai dengan pasal 200 HIR. Dan jika eksekusinya mengandung pelaksanaan suatu perbuatan ( untuk melakukan sesuatu), berlaku sepenuhnya ketentuan eksekusi yang diatur dalam Pasal 225 HIR.
Kalau begitu penaatan dan pemenuhan putusan perdamaian sama halnya dengan penaatan dan pemenuhan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap:
· Pertama, penaatan dan pemenuhannya dapat dilakukan secara sukarela;
· Kedua, penaatan dan pemenuhannya dapat dipaksakan melalui eksekusi, apabila salah satu pihak enggan menaati dan memenuhinya secara sukarela.
Kalau begitu, naïf sekali beberapa tindakan Pengadilan yang enggan melaksanakan permintaan eksekusi terhadap putusan perdamaian. Sering terjadi dalam praktek tentang penolakan Pengadilan mengadakan eksekusi terhadap putusan perdamaian. Mudah-mudahan dengan uraian ini sudah dapat membantu pelaksanaan lapangan melayani permintaan eksekusi atas putusan-putusan perdamaian, supaya makna putusan perdamaian itu benar-benar efektif menyelesaikan persengketaan diantara pihak yang berselisih. Bahkan pada hakikatnya putusan perdamaian memperpendek proses penyelesaian perkara. Hal ini perlu disadari, agar tidak terjadi tindakan-tindakan Pengadilan yang melampaui batas pelayanan.

Selain itu pula, bahwa Ketentuan pasal 196 dan pasal 224 HIR, hanya alasan “perdamaian” yang dapat dibenarkan menunda atau menghentikan eksekusi. Hanya perdamaian saja yang merupakan alasan undang-undang untuk menunda atau menghentikan eksekusi; Sedangkan alasan-alasan lain seperti derden verzet, peninjauan kembali, atau alas an obyek eksekusi masih disengketakan dalam perkara lain, bukan alasan penundaan menurut undang-undang. Kebolehan dan penerapan alasan-alasan itu hanya dapat dipergunakan secara kasuistis dan eksepsional berdasar kepatutan dan kepentingan peradilan atau process doelmatig;
Yang dimaksud dalam uraian ini dengan perdamaian ialah bentuk perdamaian yang diatur dalam pasal 1851 KUH Perdata. Misalnya, setelah putusan berkekuatan hukum yang tetap kedua belah pihak mengadakan perdamaian yang memberi kelonggaran kepada tereksekusi untuk melakukan pembayaran dalam tempo 6 bulan. Bisa juga berupa perdamaian yang memberi kewajiban kepada tereksekusi untuk menyerahkan barang lain sebagai pengganti barang yang menjadi obyek eksekusi, maka apabila ada perdamaian antara kedua belah pihak maka eksekusi ditunda dan penundaan atau penghentian eksekusi atas alas an perdamaian adalah mutlak; Artinya, apabila pihak mengadakan perdamaian yang berkenaan dan bermaksud untuk menunda atau menghentikan eksekusi, pengadilan “mesti” menuda atau menghentikan eksekusi (M.Yahya harahap 1988:300)
Demikian prisnsip yang terkandung pada suatu perdamaian, karena pada hakikatnya perdamaian itu mengakhiri sengketa atau menyelesaikan sengketa, maka apabila dibuat perdamaian yang menyangkut penyelesaian eksekusi. Eksekusi tersebut dianggap selesai langsung ditampung oleh perdamaian mengenai cara penyelesainnya. Itu sebabnya eksekusi mutlak harus ditunda atau dihentikan bila ada perdamaian. Bilamana Pengadilan yang tidak mau menunda atau menghentikan eksekusi sekalipun telah ada perdamaian dianggap merupakan sikap yang keterlaluan dan melampui batas. Kecuali apabila perdamaian diingkari pihak tereksekusi maka dengan sendirinya, putusan kembali mempunyai kekuatan eksekusi dan eksekusi dapat dijalankan tanpa melalui gugatan baru; Kenapa demikian ? karena pada dasarnya perdamaian memang bertujuan menyelsaikan eksekusi (sengketa). Akan tetapi penyelesaian yang melekat pada perdamaian tidak terlepas dari pemenuhan perdamaian itu sendiri. Kalau pihak tereksekusi menaati pemenuhan perdamaian, pada pemenuhan itu terkandung pula penyelesaian dan pemenuhan eksekusi. Perdamaian dipenuhi, berarti dengan sendirinya memenuhi isi putusan yang hendak dieksekusi. Mengingkari perdamaian berarti mengingkari pemenuhan putusan secara sukarela ; Oleh karena mengingkari perdamaian identik dengan mengingkari pemenuhan putusan pengadilan secara sukarela,maka pemenuhan putusan harus dijalankan melalui eksekusi; Begitu pula sebaliknya, bila pemohon eksekusi yang ingkar memenuhi isi perjanjian, Keingkaran itu besa saja terjadi dengan berbagai dalih, Misalnya atas alasan perdamaian dibuat dengan paksa. Perdamaian mengandung cacat dwaling. atau pemenuhan yang dilakukan tereksekusi tidak patut dan sebagainya.
Menghadapi kasus seperti ini, kembali diserahkan penilaiannya kepada Ketua Pengadilan, kalau cukup fakta untuk menduga adanya unsur paksaan atau dwaling atu tipu muslihat, dia dapat memerintahkan eksekusi. Jika pihak tereksekusi keberatan atas eksekusi tersebut, maka dia dapat mengajukan gugat baru atau berupa gugat pembatalan eksekusi. (M.Yahya Harahap 1988:303)
Menurut Prof Subekti,SH, Apa yang dinyatakan dalam pasal 1858, yaitu bahwa segala perdamaian mempunyai diantara para pihak suatu kekuatan seperti suatu putusan hakim dalam tingkat yang penghabisan, dan bahwa takdapatlah perdamaian itu dibantah dengan alas an kekhilafan mengenai hukum dengan alas an bahwa salah satu pihak dirugikan.Namun suatu perdamaian dapat dibatalkan apabila telah terjadi suatu kekhilapan mengenai orangnya, ataumengenai pokok perselisihan. Ia dapat dibatalkan dalam segala hal dimana telah dilakukan penipuan atau paksaan (ps.1859) Juga suatu perdamaian yang diadakan atas dasar surat-surat yang kemudian palsu adalah sama sekali batal. (Prof.Subekti,SH : 1995:179)

Pada prinsipnya yang dapat dieksekusi ialah putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Namun undang-undang sendiri mengatur penyimpangan atas asas tersebut. Ada sesuatu hal yang dapat dieksekusi walaupun hal itu bukan putusan pengadilan dalam arti yang murni. Salah satu bentuk pengecualian yang diatur dalam undang-undang ialah mengenai eksekusi “putusan perdamaian” sekalipun putusan perdamaian bukan murni putusan pengadilan, karena dalam putusan tersebut bukan hakim yang berperan “sengketa”, putusan perdamaian disamakan dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, dan dapat dimintakan eksekusi oleh para pihak yang tercantum dalam putusan perdamaian (dading)
Adapun jika berhadapan dengan perlawanan terhadap eksekusi tidak mutlak menunda eksekusi; Prinsip ini sama dengan apa yang melekat pada perlawanan pihak ketiga terhadap eksekusi. Dalam kasus inipun perlawanan pihak ketiga terhadap eksekusi tidak mutlak menunda eksekusi.
[1]Penerapan penundaan eksekusi berdasar perlawanan pihak tereksekusi disesuaikan dengan : “asas kasuistis. Apabila secara factual terdapat alas an perlawanan yang sangat mendasar, tentu pengadilan dapat mengabulkan penundaan eksekusi sampai putusan perlawanan memperoleh kekuatan hukum tetap.

PENUTUP/KESIMPULAN

1. Perdamaian mengakhiri Sengketa;
2. Hanya alas an “perdamaian” yang apat menunda atau menghentikan eksekusi;
3. Bila diingkari pihak tereksekusi, maka dengan sendirinya putusan kembali mempunyai hukum tetap, dan eksekusi dapat dijalankan tanpa melalui gugatan baru;



DAFTAR PUSTAKA


1. M. Yahya Harahap,SH : 2005, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta
2. M. Yahya Harahap,SH : 1988, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata,PT.Gramedia, Jakarta
3. Prof R. Subekti, SH, Hukum Acara Perdata, Bina cipta Jakarta
4. Prof. R. Subekti,SH, Aneka Perjanjian,PT.Citra Aditya Bakti,bandung: 1995





[1]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar